Ponsel yang biasanya saya andalkan untuk membuat konten, baik tertulis maupun audio-visual sedang rusak. Baterainya sedang "hamil", dan mau beli baterai baru, uangnya masih sayang untuk dipakai.
Akhirnya, banyak tema yang terlewatkan. Seperti, membuat mini-vlog di IGTV, esai foto, dan sebagainya. Halangan sebagai orang rantau juga membuat saya urung untuk membuat konten menyiapkan menu berbuka, karena saya sudah pasti tidak akan masak.
Bahkan, saya juga akhir-akhir ini jarang beli. Karena saya mendapatkan bantuan berbuka puasa. Artinya, untuk ngevlog menu berbuka, rasanya seperti maknyes di dada.
Bukan karena saya tidak mau terlihat apa adanya. Tetapi, saya juga punya malu. Kalau menang, tidak apa-apa. Kalau tidak, malu. Dan, ukuran malu orang beda-beda.
Hanya Cuitan:
2. Mengukur batas malu.Tidak semua hal bisa diungkapkan walau sangat kontekstual.#SamberTHRKompasiana--- DEDDY Husein S (@DeddyHS_15) May 8, 2021
Kemudian, yang menjadi keluhan saya sejak awal ikut blog competition di Kompasiana adalah keharusan membagikan konten di semua akun media sosial. Kalau memang punya semua akun medsos tidak masalah, kalau tidak?
Permasalahan selanjutnya adalah tentang faktor kenyamanan dengan media sosial tertentu. Jujur saja, saya lebih suka mengakses Twitter daripada Instagram.
Selain faktor pemuatan data/kuota, juga karena Instagram itu candu. Banyak konten visual yang cenderung berusaha menarik diri untuk berlama-lama di sana.
Kemudian, yang parah adalah mendorong pula saya untuk berupaya narsis. Memang, tidak harus terus pamer foto selfie, wefie, dan candid. Bisa dengan konten tulisan saja. Tetapi, menurut saya itu bagian dari narsis kalau terus dilakukan.
Memang, adakalanya saya seperti sedang menjajakan "produk" tulisan. Karena, sebenarnya tujuannya adalah promosi atau branding diri. Tapi, kalau terus-menerus juga capai.