Lalu, bagaimana kalau tidak ada?
Itulah pertanyaan yang ada di pikiran saya sampai sekarang. Itu pula yang membuat saya masih mengingat momen itu sekaligus mengingat momen Ramadan yang masih terasa guyup dan meriah.
Itulah kenapa, kalau misalnya ada yang menganggap Ramadan masa pandemi membuat suasana sepi, mungkin hanya terjadi di tempat tertentu. Kalau di domisili saya saat ini, Ramadan 2021 sudah hampir mendekati masa normal.
Orang membangunkan untuk sahur masih ada, walau sekarang sudah eranya digital, seperti menyalakan alarm di ponsel. Bahkan, kalau tinggal di dekat mushola/masjid, pasti masih terdengar 'halo-halo' dari masjid/mushola tersebut.
Hanya saja, terkadang saya juga merasa membangunkan orang bersahur itu penting, kalau memang waktunya tepat. Selain itu, juga perlu tetap menjaga sopan-santun, agar tidak mengganggu orang yang ada di dalam rumah tersebut.
Keberadaan orang-orang yang membangunkan untuk sahur akan terasa penting kalau perkampungan itu jauh dari masjid/mushola. Atau, jangkauan 'halo-halo' dari tempat ibadah itu masih kurang jelas untuk sampai ke rumah terjauh, maka kehadiran mereka sangat diperlukan.
Jadi, nostalgia saya tentang momen sahur di Ramadan masa kecil ini mungkin juga bisa untuk menjadi momen meninjau ulang fungsi dari orang yang membangunkan untuk bersahur. Di satu sisi, itu adalah momen menarik yang bahkan patut diingat, jika di kemudian hari hilang. Namun, di sisi lain juga perlu dianggap biasa kalau memang sudah tidak ada.
Malang, 19 April 2021
Deddy Husein S.