Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"MASTER" dan Membeli Secangkir Kopi

6 April 2021   18:20 Diperbarui: 6 April 2021   18:27 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukan teater dari MASTER (5/4). Sumber: Dokumentasi MASTER

Awal bulan April menjelang Ramadan, kembali, saya mendapatkan kesempatan menonton teater. Kali ini, saya menontonnya secara langsung, bukan secara daring.

Tentu, ini seperti menjadi semi-nostalgia, setelah dalam setahun lalu (2020) tidak menonton teater secara langsung akibat pandemi Covid-19. Tahun 2021 adalah momentum bangunnya kembali gelora semangat untuk dunia teater.

Tidak hanya membangkitkan semangat para penggiatnya, tapi juga semangat para penonton, termasuk saya. Bukti dari antusias ini adalah dengan keberadaan parade teater yang digelar di Gedung Dewan Kesenian Malang, Jawa Timur, dan bisa dikatakan berhasil mendatangkan banyak penonton.

Acara itu dilaksanakan sejak 1 April sampai 8 April. Artinya, dalam sepekan kita disuguhi pertunjukan teater dari segala macam bentuk, termasuk dengan keberadaan pertunjukan tari.

Saya kemudian memilih tanggal 5, walaupun sebenarnya ingin menonton semua pertunjukan. Faktor biaya yang diperlukan telah menghalangi keinginan saya.

Bukan karena saya menganggap tiket 30.000 rupiah mahal, melainkan ketersediaan uang untuk dialokasikan ke parade ini. Masih minim.

Hari H tiba, dan saya tentu bersemangat untuk datang ke Gedung DKM. Judul pementasannya hari itu adalah "1944 -- Lubang Gelap yang Menelan Segalanya" yang dipentaskan oleh Malang Study-club for Theatre (MASTER).

Cukup nahas, saya datang terlambat. Ini membuat saya hanya dapat menonton pementasan sekitar setengah dari total durasi pementasan, yang sekitar 20-an menit.

Menonton teater 10 menit rasanya memang amat janggal. Tapi, ini bukan salahnya penyuguh pementasan, melainkan penonton, yang dalam kejadian ini adalah saya. Siapa suruh telat?

Namun, saya cukup terbantu dengan beberapa pernak-pernik yang ada di panggung pementasan. Di panggung, ternyata ada beberapa tulisan yang saya asumsikan sebagai bagian dari "suara" pementasan tersebut.

"Setan-setan Perang", "Belati Mati", "Teror Tolol", dan tentunya yang paling memikat perhatian adalah "Perkosa Estetika".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun