Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah "Gumun" dan Murah Senyum kepada WNA

20 Januari 2021   22:16 Diperbarui: 29 Januari 2021   08:51 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gumun/nggumun/heran/takjub/amazed. (sumber gambar: shutterstock via kompas.com)

Kalau saya menambahkan, sebenarnya yang paling menentukan orang untuk tersenyum atau tidak adalah momen. Siapa tahu, momen untuk tersenyum, apalagi kepada orang yang tidak dikenal ada di momen yang kurang tepat.

Jika kilas-balik ke momen itu, saya sebenarnya tidak membalas senyum perempuan WNA itu karena saya sedang tidak memikirkan rencana untuk tersenyum. Meskipun dari beberapa meter sebelum matanya menatap saya, saya sudah melihatnya, tapi saya tidak berpikir akan tersenyum kepadanya.

Apakah tersenyum harus dipikirkan lebih dulu?

Jika saya, iya. Karena, senyum itu menurut saya bukan gerakan refleks. Senyum itu adalah aksi.

Dan, orang yang terbiasa tersenyum kepada orang lain, akan membuatnya memiliki respon cepat untuk tersenyum juga. Artinya, senyum juga menjadi reaksi, yang akhirnya kadang dianggap merupakan gerakan refleks. Padahal, sebenarnya itu sudah terlatih lama yang artinya juga perlu direncanakan.

Kejadian ini memang terlihat remeh, tetapi saya pikir lewat kejadian ini ada satu hal yang perlu tersampaikan lewat tulisan ini, yaitu perlakuan sama. Kebetulan, saya kabarnya kurang senyum kepada orang lain.

Artinya, jika itu menimpa ke sesama orang Indonesia yang saya jumpai, maka itu juga berlaku kepada WNA. Karena, apa yang saya tunjukkan berarti tidak ada rekayasa atau pembedaan.

Bukan berarti, saya yang (katanya) jarang tersenyum ke orang lain akan menjadi murah senyum ke WNA. Mereka juga dapat perlakuan yang sama. "Maaf, ya!"

Itulah mengapa, saya pikir hal semacam ini juga bisa diterapkan dengan konteks yang berbeda oleh masyarakat, lembaga, atau pemerintah dalam menyikapi keberadaan WNA. Artinya, kita (WNI) seharusnya memperlakukan mereka seperti kita memperlakukan sesama WNI.

Jika adanya "A", berikan "A". Bukan karena ada WNA, lalu diberikan "AB" atau layanan eksklusif. Kecuali, jika mereka memang memberikan dampak satu langkah lebih maju (positif) kepada tatanan sosial sekitar, maka pemberian 'keistimewaan' itu tepat.

Artinya, ada alasan konkrit nan logis untuk menyikapi keberadaan WNA yang ada di Indonesia. Bukan terpatok pada fisik dan asal. Toh, orang dari Afrika, Eropa, Asia, Amerika, Oseania, dan Australia juga bisa meninggal seperti kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun