Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pindah Kewarganegaraan Tidak Segampang Pindah Kos

14 Oktober 2020   05:17 Diperbarui: 14 Oktober 2020   20:48 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi membayangkan pindah kewarganegaraan. Gambar: diolah dari Hukumonline.com dan Shutterstock/PR Image Factory via Beritagar.id

Membaca judul itu pasti ada yang langsung bergejolak, karena ada yang pro dan ada yang kontra. Mengapa?

Karena, ada juga yang merasa pindah kos itu tidak gampang. Ada yang karena malas memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain, apalagi kalau barangnya tidak cuma pakaian saja.

Misalnya, ada yang punya tv, lemari, keyboard, AC, WiFi router, sepeda, sampai kulkas sekalian. Wah, kok tajir banget!

Meskipun itu hanya ilustrasi, tapi ada juga yang memang seperti itu. Lalu, bagaimana dengan saya? Kalau saya, bukan soal barangnya, tetapi memang malas saja untuk pindah.

Begitu juga kalau sudah merasa betah dan cocok dengan situasi kos tersebut, maka sulit untuk pindah. Bahkan, meski kos-nya sering dikatakan sudah ketinggalan zaman karena tidak ada fasilitas WiFi pun, saya akan berpikir berkali-kali untuk pindah.

Tetapi di sisi lain, saya berpikir kalau pindah kos masih lebih gampang dibandingkan pindah warga negara. Apa saja faktornya?

Pertama, adaptasinya lebih berat. Kita tidak bisa hanya bermodalkan vlog di media sosial yang mengulas atau malah hanya menangkap sekilas keadaan suatu daerah di suatu negara.

Kita harus datang langsung untuk "beruji nyali". Jika tidak demikian, maka mustahil untuk dapat beradaptasi dengan keadaan yang sudah pasti berbeda dengan keadaan di negara asal.

Kita tidak bisa menilai enak/tidak enaknya kehidupan di negara lain hanya lewat 'review' orang lain. Gambar: Pexels/Ketut Subiyanto
Kita tidak bisa menilai enak/tidak enaknya kehidupan di negara lain hanya lewat 'review' orang lain. Gambar: Pexels/Ketut Subiyanto
Apakah kita hanya datang untuk menjadi penduduk yang mengakar di apartemen, lalu setiap hari membeli segalanya lewat layanan pesan-antar saja?

Kedua, kita tidak hanya berhenti pada penguasaan bahasa dan budaya yang dimiliki negara tujuan. Setelah kita menguasai, maka kita harus mengetahui ketepatan penggunaannya.

Belum tentu, pada semua momen kita akan bisa menggunakan cara bertutur yang sedemikian rupa--yang kita tahu sebelumnya. Bisa saja berbeda tempat, maka berbeda pula gaya atau penerapannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun