Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Seandainya Barcelona Tidak Menyaingi Keglamoran Real Madrid

30 Mei 2020   06:17 Diperbarui: 30 Mei 2020   12:03 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Barcelona juga mulai disponsori brand komersial, tidak lagi memamerkan UNICEF di jersey depannya. Gambar: Antara/AFP/Josep Lago

Bulan Mei segera pergi, dan yang akan datang adalah bulan yang selalu hujan, Juni. Tidak hanya bagi pemuja hujan yang gembira, atau juga adik-adik sekolah yang naik kelas dan lulus, namun bulan ini juga akan dinantikan oleh penikmat sepak bola Spanyol, La Liga.

Dikabarkan, La Liga akan kembali dari tidur panjangnya--akibat pandemi corona--pada 11 Juni. Laga yang digelar sebagai pembuka pun adalah sebuah derbi yang di Spanyol cukup sengit selain El Clasico, yaitu El Gran Derbi antara Sevilla vs Real Betis.

Rasanya pas jika awalan dari kebangkitan kompetisi ini diantarkan oleh atmosfer yang cukup bergengsi. Walau tentunya tanpa kepadatan suporter. Setidaknya atmosfer ini dapat menjadi evaluasi yang tersirat dari kembalinya kompetisi lain, Bundesliga (Jerman).

Di pertandingan awal saat Bundesliga comeback, banyak orang merasa bosan dengan permainan tim-tim besar yang justru tidak langsung memberikan permainan yang bagus. Di satu sisi, dimaklumi karena efek dari "libur" 2 bulan.

Baca juga: Ada 7 Penampakan Saat Bundesliga Comeback

Namun, pemandangan ini jelas harus dievaluasi. Termasuk oleh kompetisi lain yang hendak mengikuti jejak Bundesliga.

Persiapan dilakukan oleh klub-klub La Liga untuk kembali melanjutkan sisa musim 2019/20. Salah satu klub yang kemudian disorot adalah Barcelona. Banyak faktor yang perlu dicermati dari persiapan klub yang bermarkas di Camp Nou ini.

Pertama, Barcelona adalah penghuni sementara puncak klasemen La Liga. Meski jarak poin tak begitu jauh dari rival abadinya, Real Madrid, namun potensi mereka untuk segera serius dan mengamankan puncak klasemen di akhir musim perlu dinantikan.

Kedua, sejak kompetisi sepak bola dihentikan akibat covid-19, Barcelona menjadi klub yang banyak disorot. Hal ini dikarenakan kondisi ekonomi klub pengoleksi 5 trofi Liga Champions itu sedang tidak bagus.

Ketiga, Barcelona butuh penyegaran, khususnya dari dalam, agar mereka bisa kembali menjadi klub yang bergairah dalam mengejar gelar juara. Situasi ini tak begitu terlihat sejak musim lalu, meski mereka berhasil merengkuh gelar La Liga.

Tiga faktor ini saling berkaitan dan membuat Barcelona menghasilkan situasi-situasi yang perlu diketahui. Salah satunya adalah efek domino keberadaan Lionel Messi yang di satu sisi membuat Barcelona masih percaya diri untuk bersaing di papan atas, namun di sisi lain memberikan efek negatif; ketergantungan.

Barcelona memang beruntung ketika Lionel Messi merupakan pemain yang tumbuh, berkembang hingga mapan di Camp Nou. Namun, seiring berjalannya waktu, Barcelona sangat bergantung pada Messi.

Imbasnya tidak hanya pada teknik di lapangan, namun juga di finansial serta pola kerja Barcelona di masa kini. Kita bisa bandingkan dengan Barcelona di masa sebelumnya, atau saat Messi masih sangat muda, 2009.

Saat itu, Messi ada di final Liga Champions dan bertemu dengan Manchester United yang masih ada Cristiano Ronaldo. Skuad Barcelona memang tak sepenuhnya tanpa transfer, namun di starting line-up, terdapat 7 pemain yang alumni akademi La Masia, belum lagi di bangku cadangan.

Seremoni keberhasilan alumni La Masia. Gambar: 90min.com
Seremoni keberhasilan alumni La Masia. Gambar: 90min.com
Berbeda dengan di final UCL 2015, stok alumni La Masia yang mengisi starting line-up mulai berkurang--menjadi 5 pemain. Pedro sudah tergeser oleh Neymar, juga Xavi yang tak ada penerus. Jatah pemain tengah untuk alumni La Masia mulai tergerus seiring dengan menuanya Andres Iniesta.

Namun, situasi final terakhir Barcelona itu masih cukup mending jika dibandingkan semifinal Liga Champions 2019--sebenarnya masih ada 5 pemain alumni La Masia--saat bertemu dengan Liverpool. Barcelona di situ mulai bertumpu dengan kekuatan impor--di lini tengah dan depan--yang tentunya gajinya tak kecil.

Butuh loyalitas tinggi bagi pemain dari La Masia, selain kualitas, untuk memperoleh gaji tinggi. Berbeda dengan pemain pendatang yang memang harus menggaransi kualitas sejak awal kedatangan dan membuat Barcelona ikhlas menggaji mahal. Ivan Rakitic salah satunya.

Musim 2015 pula menjadi awal dari lonjakan kencang Barcelona untuk berbelanja pemain dan berbanderol mahal. Sejak merasakan dampak dari kehadiran Neymar dan Luis Suarez, Barcelona seolah kecanduan untuk berbelanja pemain yang sudah jadi.

Sebenarnya situasi ini sudah ada sejak musim 2006, ataupun 2009, ketika mereka menikmati perkembangan kualitas dari Samuel Eto'o dan Ronaldinho. Sedangkan Thierry Henry menjadi pelengkap bintang yang dimiliki Barcelona.

Di sini kita bisa melihat bahwa Barcelona menumpuk bintang secara bertahap, tidak secara cepat seperti yang dilakukan Real Madrid. Tentu kita ingat di sebuah bursa transfer yang menggemparkan dunia, karena Real Madrid memboyong dua bintang dan satu pemain muda (Bolaokezone).

Dua bintang itu adalah Ricardo Izeckson Dos Santos Leite atau yang akrab dipanggil Kaka dan tentunya Cristiano Ronaldo. Sedangkan si pemain muda adalah Karim Benzema. Bahkan, tak lama kemudian Mesut Ozil hadir bersama Sami Khedira, lalu disusul Toni Kroos. Luar biasa!

Tetapi Real Madrid tak sepenuhnya dominan. Butuh waktu lama untuk membuat Real Madrid mampu kembali juara Liga Champions--dan beruntun--termasuk (berupaya) konsisten menjuarai La Liga.

Berbeda dengan Barcelona yang konsisten di La Liga dan sangat diperhitungkan di pentas Eropa meski tak sepenuhnya digdaya. Meski demikian, publik selalu memaklumi, karena Barcelona sebenarnya tak sepenuhnya diisi dengan bintang-bintang--jika mengartikan pemain yang dibeli adalah bintang.

Hanya, situasinya kini mulai berbeda, karena Barcelona terlihat menuju ke arah Galacticos. Terbukti, dalam 3 musim terakhir, Barcelona mampu mendaratkan beberapa pemain dengan banderol tinggi. Ousmane Dembele, Phillipe Coutinho, dan tentunya Antoine Griezmann.

Seolah tidak puas, Frenkie De Jong pun didatangkan. Beruntung Matthijs De Ligt gagal merapat ke Barcelona.

Jika berhasil, mungkin nasib finansial Barcelona akan lebih kacau lagi. Hal ini kemudian terkuak ketika tanpa kita harapkan, muncul pandemi covid-19.

Dunia terkena dampak, begitu pula dengan sepak bola. Banyak kompetisi berhenti dan banyak pula pihak klub yang akhirnya harus mengeluarkan sistem pemotongan gaji termasuk Barcelona.

Uniknya, Barcelona menjadi klub yang mengharuskan pemainnya dipotong gaji sampai 70%. Jumlah ini bahkan 2x lebih tinggi dari apa yang dilakukan Real Madrid yang memilih potong gaji secara "normal", 30%.

Ini tentu pertanda bahwa Barcelona telah terkena dampak dari pola kerja mereka yang mulai meniru Real Madrid, dan tentunya masih adanya Messi. Memang keberadaan Messi menguntungkan secara teknis dan non-teknis, namun pada akhirnya juga menyulitkan Barcelona sendiri.

Mereka memang harus membuat tim tetap berkualitas, namun mereka terlihat tidak sabar dalam membangun tim. Seolah mereka lupa, bahwa mereka memiliki akademi yang pernah menghasilkan Carles Puyol, Xavi Hernandes, Andres Iniesta, Cesc Fabregas, Pep Guardiola, hingga tentunya Lionel Messi.

Bahkan, mereka juga pernah menaungi striker jempolan milik Inter Milan dan Paris St. Germain (PSG), Mauro Icardi. Lalu, mengapa Barcelona kini justru berfoya-foya memboyong banyak pemain hebat dan di kurun waktu yang berdekatan?

Inilah yang disayangkan, karena jika mereka cukup bersabar dalam membangun tim dan membeli pemain bintang secara bertahap--toh masih ada Messi, maka situasi finansial mereka tak akan terganggu.

Penampilan Messi mirip saat 2015. Apakah Barcelona akan kembali juara UCL? Gambar: Twitter/@FCBarcelona
Penampilan Messi mirip saat 2015. Apakah Barcelona akan kembali juara UCL? Gambar: Twitter/@FCBarcelona
Jika begitu, maka Messi pun tak perlu merasa harus kembali muda seperti saat terakhir kali menjadi juara Liga Champions bersama Luis Enrique.

Namun, di sisi lain apa yang ditampakkan dari Messi seolah menyiratkan bahwa Barcelona ingin bangkit dan lebih bergairah dalam bersaing hingga musim 2019/20 benar-benar usai. Tetapi, apakah Barcelona akan menunda keinginannya memboyong bintang (sebut saja: Lautaro Martinez/Neymar) untuk musim depan?

Malang, 29-30 Mei 2020
Deddy Husein S.

Berita/ulasan terkait:
Antaranews dan 90min.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun