Dalam beberapa hari ini, publik digegerkan kembali dengan kabar viral yang kali ini tentang pelarangan merokok bagi perempuan atau mahasiswi di kawasan perkampusan. Unik. Karena selain terkesan seksis, pelarangan itu juga terkesan seperti perintah mutlak dari langit ke tanah tanpa boleh membentur genting, tower, ataupun dedaunan di pohon-pohon.
Artinya, perokok seperti pendosa yang harus dihukum dengan larangan yang tak bisa dibantah, atau setidaknya memiliki pilihan lain. Inilah yang sedikit menggelikan. Apakah memang sebegitukah rendahnya para perokok sampai harus ditekan sedemikian rupa?
Apakah angka kematian di Indonesia disebabkan hanya karena keberadaan asap rokok? IDNTimes.com (health data 2017)
Bagaimana dengan keberadaan asap kendaraan yang semakin membumbung tinggi bersama awan-awan yang kini sedang bermendung ria? Apakah mereka tak tercatat sebagai bagian dari "dosa"?
Belum lagi dengan "cap sosial" yang seringkali mengaitkan antara kebiasaan merokok dengan kenakalan. Biasanya para perokok disebut-sebut adalah orang nakal. Apalagi jika itu adalah perempuan. Pasti nakal!
Namun, apakah benar demikian?
Bagaimana jika mereka yang merokok bukan hanya karena "tuntutan" lingkungan, melainkan karena memang adanya rasa butuh terhadap rokok? Apakah kemudian mereka tetap dianggap nakal?
Jika kemudian melihat seorang dosen yang kita segani, ternyata merokok, apakah kemudian kita menganggap dosen itu nakal?
Penilaian ini seharusnya berjalan adil. Maka dari itu, penulis sejak mengetahui bahwa merokok bukan lagi hanya karena simbolisasi "keren" terhadap si perokok, memilih untuk menyebutkan bahwa merokok adalah simbol kebebasan.
Artinya, siapa saja berhak menentukan apakah dirinya akan menjadi perokok atau tidak terlepas dari apa jenis kelaminnya. Perempuan berhijab pun jika kemudian memiliki kebiasaan merokok, itu dianggap sebagai pilihannya. Sama seperti ketika dia memilih rajin membaca buku atau sibuk bermedia sosial setiap hari.