Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menelusuri Penyebab Kerusuhan Suporter di Indonesia

31 Oktober 2019   07:15 Diperbarui: 31 Oktober 2019   09:51 1913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kerusuhan suporter di Gelora Bung Tomo. Sumber gambar: kompas.com/SUCI RAHAYU

Sudah bukan suatu kabar langka jika kita mendengar suporter bola di Indonesia melakukan kerusuhan. Bahkan tidak hanya di level antar kampung saja, kerusuhan suporter juga dapat terjadi hingga level internasional. 

Di level nasional, kerusuhan suporter bahkan sudah menjadi rutinitas. Seolah tanpa kerusuhan, sepakbola Indonesia seperti kuah sayur tanpa micin.

Terbaru, kita mendengar kabar bahwa kerusuhan suporter terjadi lagi di kompetisi sepakbola tertinggi di Indonesia, Liga 1. Kelompok suporter tuan rumah yang kemudian disebut oknum suporter itu melakukan kerusuhan pasca pertandingan berakhir. 

Memang, kerusuhan itu sepertinya tidak menyasar pada tim tamu, melainkan seperti ingin protes ke klub dukungannya.

Namun, apakah tindakan itu sudah efektif dalam menyuarakan perasaan tidak puas terhadap kinerja tim jagoannya?

Guna menjawab pertanyaan itu, kerusuhan suporter ini perlu dibedah secara cukup detil. Yaitu melalui hukum sebab-akibat. Penyebab kerusuhan suporter di Stadion Gelora Bung Tomo tersebut disinyalir berdasarkan kekalahan Persebaya di kandang sendiri. 

Begitu pula dengan raihan hasil laga di beberapa laga terakhir yang tak kunjung menuai hasil maksimal (kemenangan).

Faktor kekalahan itu kemudian mengarah pada perihal yang sangat ingin dihindari, yaitu kerugian. Kerugian ini bisa dialami oleh dua belah pihak. Klub dan suporter. Bagi klub, kerugian atas kekalahan ini bisa mencakup perihal internal dan eksternal.

Internal bisa berupa faktor kepercayaan manajemen dengan pelatih, manajemen dengan pemain, dan lainnya. Di bagian eksternal, kepercayaan ini bisa mencakup perihal finansial dari sponsor dan suporter (ticketing). 

Jika tim sudah tidak bisa menjamin kemenangan di kandang, maka tidak menutup kemungkinan bahwa tribun di stadion saat laga home menjadi kurang penuh.

Itu artinya, pihak klub juga merasakan dampak kekalahan. Namun, yang menjadi permasalahan adalah tidak ada satupun klub di dunia ini mampu menjamin kemenangan seratus persen di kandang, termasuk klub-klub di Liga 1. 

Inilah yang kemudian perlu dipahami oleh suporter yang juga dapat menyuarakan kerugian bagi mereka atas kekalahan klub dukungannya.

Dari sini, kita dapat melangkah ke bagian yang paling dinantikan. Yaitu, beberapa faktor penyebab di balik terjadinya kerusuhan suporter.

Pertama, kerusuhan suporter dapat terjadi ketika tim yang didukung kalah. Faktor ini sudah sering terjadi dan antara lumrah dan tidak lumrah. Karena, seperti yang sudah disebut sebelumnya, bahwa dampak dari kekalahan itu juga tidak hanya dirasakan oleh suporter tapi juga timnya. 

Mereka juga merugi dalam banyak hal dan hitungannya juga sangat banyak -jika dibandingkan dengan level kerugian suporter.

Kedua, kerusuhan suporter terjadi karena suporter merasa merugi atas kekalahan tersebut. Misalnya kerugian atas waktu dan uang. Waktu bisa saja berkaitan dengan jam kerja mereka yang harus berbenturan dengan jam bertanding tim kesayangannya. 

Meski jam kerja saat ini rata-rata selesai pukul 4 sore, namun dengan jam tanding yang dimulai sejak pukul 3.25 sore sudah membuat mereka tidak bisa hadir ke stadion sejak awal.

Begitu pula dengan kemacetan dan pasca pertandingan. Biasanya, mereka yang sudah bekerja juga harus kembali menyiapkan badan dan pikiran mereka untuk segera rileks demi keesokan harinya. 

Aspek-aspek internal ini bisa saja menjadi beban bagi mereka yang memang sudah terlanjur fanatik dengan klub dukungannya.

Sedangkan untuk uang, tidak menutup kemungkinan bahwa ini dapat dirasakan oleh mereka yang tidak memiliki standar ekonomi yang cukup untuk dapat menyisihkan sebagian pendapatannya untuk rutin membeli tiket pertandingan tersebut. 

Lagi-lagi ini juga dipengaruhi oleh fanatisme tinggi yang membuat mereka "berjuang" meski mereka juga tidak tahu pasca pertandingan akan makan apa.

Situasi semacam ini sebenarnya sering terjadi pada zaman dulu di negara-negara luar yang menjadikan sepakbola sebagai sarana liburan bagi masyarakat kelas pekerja. 

Sehingga, ketika melihat klub dukungannya kalah, mereka hanya berpikir bahwa yang merasa kalah dan rugi adalah mereka. Mindset ini bisa saja masih ada di pikiran masyarakat Indonesia saat ini yang terlalu menggandrungi sepakbola dengan menyingkirkan akal sehatnya. Menyedihkan.

Faktor ketiga, adanya perasaan gengsi, prestis, dan ingin terlihat keren/garang ketika berani melakukan tindakan anarkisme. Jika faktor sebelumnya banyak berkutat pada hal-hal yang bersifat personality -motif internal komunal. 

Sedangkan di faktor ini, kita lebih melihat adanya tindakan kerusuhan itu menjadi tindakan yang ditujukan untuk dapat dilihat dan dinilai orang lain.

Aksi suporter yang merusuh terlihat enjoy. (Tribunnews/Suryaonline)
Aksi suporter yang merusuh terlihat enjoy. (Tribunnews/Suryaonline)
Ada kemungkinan bahwa melakukan kerusuhan seperti melakukan tindakan yang benar. Seperti demonstrasi yang kemudian berujung perusakan fasilitas umum, begitu pula di kerusuhan pada kelompok suporter. 

Mereka yang merusuh bisa saja menganggap tindakan itu benar dan menjadi cara yang tepat untuk menunjukkan simbol eksistensi, perasaan rugi, hingga perasaan menjadi "pahlawan".

Tiga motif itu harus tersampaikan ke pihak lain, baik itu ke masyarakat umum, pihak klub, maupun ke antar suporter lainnya. Ada kemungkinan juga jika tindakan kerusuhan itu kemudian menjadi brand image bagi kelompok suporter tersebut. 

Inilah yang menjadi permasalahan bagi pihak klub dan liga. Ketika mereka ingin menjangkau masyarakat penonton sampai ke level usia kecil dan kalangan perempuan, mereka harus melihat juga adanya regenerasi anarkisme di tubuh suporter -meskipun pelakunya disebut oknum.

Faktor terakhir yang kemudian dapat menjadi klimaks dari faktor sebelumnya adalah adanya tindakan meniru hooliganisme dari kelompok suporter luar negeri. 

Sebagai negara berkembang yang kemudian selalu mengonsumsi informasi internasional, khususnya di bidang sepakbola, tentu membuka pintu gerbang bagi suporter-suporter di Indonesia untuk melakukan hal-hal yang serupa dengan apa yang dilakukan oleh suporter manca.

Kerusuhan suporter di Inggris. gambar: tempo
Kerusuhan suporter di Inggris. gambar: tempo
Salah satu peniruan tersebut adalah hooliganisme. Hooliganisme ini lebih identik pada kelompok suporter di Inggris. Hal ini tidak lepas dari latar belakang kelompok suporter di Inggris yang awalnya memang didominasi oleh kaum kelas buruh. 

Sehingga, sifat keras, semangat tinggi, dan berjuang bersama seperti menjadi identitas mereka.

Inilah yang kemudian melahirkan banyak tindakan besar (kerusuhan) di Inggris yang diakibatkan oleh suporternya. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah kerusuhan itu sudah terminimalisir di Inggris. 

Bahkan, stadion-stadion di Inggris juga tidak lagi memasang pagar pada tribun suporter. Ini membuat Inggris sudah mulai melunturkan identitas hooligan terhadap suporternya.

Situasi ini yang sayangnya tidak terjadi di Indonesia. Bahkan, bukannya semakin berkurang, kerusuhan suporter di Indonesia semakin sering terjadi. Ini yang membuat sepakbola Indonesia terus memanas. 

Di satu sisi, masyarakat mengecam federasi. Di satu sisi lainnya, masyarakat juga tidak menyukai tingkah-laku suporter Indonesia yang tidak jarang merugikan pemerintah (merusak infrastruktur), federasi (sanksi/denda internasional), juga klub (image dan finansial makro-mikro).

Apa yang dilakukan kelompok suporter di Indonesia bisa saja tak lepas dari pola peniruan. Mereka tak hanya menganggap kerusuhan adalah media ekspresi, namun juga media globalisasi. 

Artinya, dengan kerusuhan, mereka dapat diperbincangkan secara luas dan tak menutup kemungkinan untuk dikenal oleh masyarakat internasional.

Hal ini tentu sama seperti yang terjadi di Inggris beberapa masa yang lalu. Mereka juga meroketkan atmosfer sepakbolanya dengan berbagai hal. 

Seperti prestasi dan persaingan klub-klubnya hingga hooliganisme pada kelompok suporternya yang kemudian juga terjadi di daratan Eropa lainnya (Italia, Turki, dan Jerman) hingga ke (benua) Amerika -yang saat ini masih dikenal sebagai penghasil suporter "keras".

Jika pada akhirnya kerusuhan suporter ini banyak disinyalir pada peniruan, maka yang patut dinantikan adalah kapan suporter Indonesia memasuki masa pendewasaannya. 

Akankah ada peluang suporter Indonesia seperti di Inggris yang hanya akan ber-chant "boo-boo" saja atau masih akan tetap mengandalkan cara rusuh seperti saat ini yang tentunya tidak hanya membuat klubnya rugi, namun juga pemerintah setempatnya yang harus kembali merogoh kocek untuk merenovasi kerusakan-kerusakan infrastrukturnya.

Let's wait and still see!

Malang, 30-31 Oktober 2019
Deddy Husein S.

Referensi:

Mirror.co.uk, Bolatimes.com, Tempo.co, Cnnindonesia.com 1, Cnnindonesia.com 2, Kompas.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun