Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keyakinan yang Tidak Akan Luntur Melalui Ucapan

25 Desember 2018   16:23 Diperbarui: 25 Desember 2018   16:30 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: gallery.wacom.com/gallery

"Toleransi bukan hanya ucapan, melainkan tindakan"

Tak banyak dan tak sedikit, penduduk atau masyarakat Indonesia ini dilahirkan dengan latar belakang percampuran antar ras, suku, dan agama. Ketiganya ini merupakan elemen bangsa yang rupanya saling terkait dan sulit untuk dipisahkan satu sama lain. Contohnya, suku Jawa, Madura dan Sunda dikenal sebagai suku-suku di Pulau Jawa yang dominan beragama Islam.

Begitu pula dengan ras. Ras Melayu (Melayu Tua dan Melayu Muda) yang cukup dominan di Indonesia juga dikaitkan dengan agama Islam. Lalu, ada ras Mongol seringkali masih terlihat acak antara agama Hindu, Buddha, Konghuchu, dan agama lainnya. Begitu pula dengan ras Melanesia dan Veddoid yang terlihat lebih dominan Katholik dan Kristen.

Namun, seiring waktu dari perkembangan peradaban, ras yang kemudian menjadi suku-suku bangsa di Indonesia ini terlihat semakin melebur dalam hal agama. Dari Sabang sampai Merauke, keberagaman agama semakin terlihat jelas dan sulit untuk mengikatkan agama dengan ras dan suku. Suku Jawa juga memiliki agama Katholik dan Kristen, begitu pula suku-suku di Papua, Maluku, Sulawesi, dan sekitarnya; juga terdapat masyarakat yang beragama Islam. Artinya, agama bukan lagi terkotak-kotakkan berdasarkan ras dan suku, melainkan merasuk ke dalam pilihan individu maupun antar keluarga.

Agama menjadi tidak terlihat terintervensi oleh pemahaman atas kesukuan dan ras, melainkan keyakinan yang didasari pada pemikiran yang didapatkan oleh masing-masing. Di sinilah letak awal, bagaimana Indonesia semakin beragam---walau di sisi lain semakin terlihat adanya mayoritas dan minoritas.

Jika berbicara soal agama, memang terlihat bahwa mayoritas agama Islam telah tersebar di segala penjuru Indonesia. Namun, di sisi lain, secara ras dan suku, Indonesia sangat berimbang. Bahkan, dewasa ini, kesuksesan pembangunan daerah tidak lagi hanya terpatok pada daerah yang sudah terakses dengan mudah dari pusat seperti Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun, sudah mampu menjamah paling pelosok di Papua, Maluku, Nusa Tenggara dan daerah-daerah yang lebih identik dengan ras Melanesia dan suku non Jawa. Menariknya, hal ini juga berlaku di kehidupan rimba yang tak tercampuri oleh pemerintah atau pihak-pihak lain. Yaitu, soal cinta dan pernikahan.

Tidak lagi sedikit, kita dapat menemukan orang-orang di sekitar kita berlatar belakang ras dan suku yang terbaurkan akibat pernikahan beda ras dan suku, termasuk agama. Di sinilah, suatu keindahan kembali muncul dan semakin menarik untuk diperhatikan. Bahwa Indonesia adalah surganya perbedaan yang kemudian dapat menyatu sebagai keselerasan yang alami.

Cinta dan pernikahan adalah suatu hal yang masih dapat dinilai alami---walau ada cinta dan pernikahan yang atas dasar keterpaksaan atau ada tujuan tertentu. Bersama dua hal inilah, kemudian, kita dapat menemukan pula sebuah hasil yang menarik lainnya, yaitu pembauran agama yang diyakini oleh orang-orang yang awalnya terlihat 'seharusnya' beragama A, namun ternyata beragama 'B'.

Hal ini awalnya terlihat dapat menjadi suatu perdebatan. Namun, lambat laun, hal ini menjadi suatu kewajaran. Karena, Indonesia memang menyediakan hal tersebut; keberagaman. Proses dari cinta dan pernikahan inilah yang kemudian dapat menjadi salah satu faktor mengapa kita dapat hidup dengan perbedaan. Termasuk perbedaan agama.

Seharusnya, tidak lagi mengherankan jika kita berjumpa dengan teman kita yang berwajah Tionghoa namun beragama Islam, bukan?

Begitupula ketika menjumpai orang bersuku Jawa, namun beragama Buddha.

Artinya, agama sudah menjadi hasil pengolahan pemikiran yang matang yang kemudian menjadi pilihan tanpa lagi terikat oleh ras dan suku.

Begitupula seharusnya yang terjadi, ketika kita telah menjumpai adanya perayaan dari semua agama di Indonesia. Yaitu, toleransi.

Jika cinta dan pernikahan menumbuhkan toleransi dan penyatuan,  maka, seharusnya status kita sebagai masyarakat Indonesia yang sudah tersahkan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP)---apalagi jika terlahir dan besar di tanah Indonesia---juga dapat membimbing kita untuk dapat memaklumi terhadap rasa kebahagiaan dari sesama yang sedang merayakan hari besar agamanya dengan toleransi.

Artinya, sudah saatnya kita tidak lagi berdebat tentang bolehkah kita turut bergembira dengan saudara kita yang berbeda agamanya yang sedang merayakan hari besarnya?

Bolehkah kita mengucapkan selamat terhadap perayaan hari besar tersebut?

Dan bolehkah-bolehkah lainnya, yang masih memperlihatkan bahwa kita masihlah sangat kaku untuk menerima adanya perbedaan di sekitar kita. Padahal, menyatukan perbedaan dengan cinta dan pernikahan itu lebih sulit dibandingkan hanya sekadar memberikan ucapan selamat.

Apa sulitnya dan dosanya ketika kita memberikan ucapan selamat kepada teman yang berbeda agama dibandingkan saat kita terus menggunjing orang lain tentang keburukannya---apalagi jika yang digunjing adalah yang seagama.

Lebih berdosa mana, mempergunjing keburukan orang yang seagama dengan memberikan ucapan selamat kepada orang yang berbeda agama?

Masihkah takut mengucapkan selamat kepada yang berbeda agamanya, padahal itu tidak akan mengurangi iman dan ketakwaan kita terhadap agama yang dianut?

Masihkah berpikir bahwa mengucapkan selamat itu akan menggoyahkan iman kita terhadap ajaran agama yang (biasanya) telah dianut sejak kecil?

Bagaimana dengan perilaku menggunjing dan menjelek-jelekkan orang lain tanpa peduli dia siapa dan dari mana---apalagi jika digunjing berdasarkan perbedaan agama, suku, dan rasnya?

Itulah yang masih terjadi di masyarakat Indonesia saat ini, ketika, cinta dan pernikahan dapat menerima adanya perbedaan agama, ras, dan suku, namun tidak diimbangi dengan kemampuan pikiran dalam memahami apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang sudah diajarkan oleh keyakinannya.

Sebagai masyarakat yang sudah fasih bermain gadget seyogyanya untuk membaca ajarannya---agama, pahami apa yang tersampaikan, lalu diskusikan dengan orang-orang yang sangat paham tentang penafsiran, dan pilah-pilah hasil diskusi tersebut dengan perenungan yang ditinjau kembali dengan ajaran yang sudah dibaca. Itu yang seharusnya kita lakukan, demi menjaga harmoni 'rumah tangga' negeri ini. Bukan hanya terus-menerus membahas soal siapa yang paling benar, dan siapa yang paling salah.

Karena, Indonesia terlalu besar jika hanya diisi oleh orang-orang yang tidak mampu mengembangkan pemahamannya terhadap ajaran rasnya, sukunya, apalagi agamanya.

Indonesia juga terlalu mubazir, jika masih terus-menerus digerus oleh kegagalan masyarakatnya dalam memahami ajaran agamanya yang telah bersanding mesra dengan ajaran kebudayaannya.

Jadi,
Selamat Hari Natal kepada seluruh saudara-saudara sebangsa dan setanah air; INDONESIA, yang telah merayakannya.
Semoga, cinta dan kasih tak pernah terputus di antara kita---sesama masyarakat Indonesia---yang sama-sama telah terlanjur jatuh hati kepada Indonesia.

"Indonesia rumah kita!"
Malang, 25 Desember 2018
Deddy Husein S.

Tambahan:

Sebuah kemesraan dari perbedaan, yang tidak akan melunturkan iman dan ketaqwaan terhadap-Nya.

Klik di sini untuk beralih ke laman Youtube/channel NarasiTV.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun