Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Ada yang Benar-benar Gratis

2 Desember 2018   16:23 Diperbarui: 2 Desember 2018   17:08 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi komik web (webtoon.com)

"Semua kesenangan yang dinikmati harus ada pengorbanan"


Ketika ada kabar yang merebak ke para pembaca komik web, bahwa akan ada sistem berbayar dengan koin, semua mulai mengeluh dan sedih. Bagaimanapun akhirnya, mereka harus berkorban (lagi) setelah harus mengaktifkan data yang tak sepenuhnya murah, kini ditambah lagi dengan keharusan untuk menggunakan koin untuk dapat membaca komik yang sudah dibaca episode-episode awalnya (masih gratis) dan terlanjur disukai---yang mengharuskan untuk diikuti keberlanjutan dari kisah di komik tersebut.

Miris?

Tidak juga. Karena, ini menyangkut soal pemasaran, atau yang lebih lengkapnya disebut strategi pemasaran. Semakin besar sebuah media, tentu akan semakin berjaya ketika ada sistem pemasukan dan pengeluaran. Di sinilah kemudian mengharuskan adanya sistem pemasaran dan kerjasama dengan pihak-pihak ketiga, keempat dan kesekiannya. Di sini tak hanya sekedar berbicara soal kreativitas yang dikembangkan, namun juga adanya royalti dan loyalti.

Semakin besar karya tersebut, maka semakin besar royalti yang harus dibayarkan oleh media terhadap terunggahnya karya tersebut. Hal ini tentu harus disokong dengan pemasukan untuk media tersebut. Jika tidak ada pemasukan dari media tersebut, bagaimana caranya untuk bisa mengeluarkan royalti yang pantas untuk karya tersebut?

Memang ini alur yang sangat klise---bagi semua orang yang sudah cukup pengetahuannya akan paham dengan hal ini, namun pemikiran yang mendasar ini terkadang diabaikan oleh mereka yang sedang berperan sebagai konsumen. Apalagi jika konsumen sudah merasa menjadi bagian dari penyokong terhadap kesuksesan media tersebut. Maka mereka sudah merasa cukup dengan apa yang sudah diberikan, dan biasanya mereka akan terus mencari dan 'meminta' lagi karya-karya yang bagus untuk dipublikasikan dan dapat dinikmati lagi.

Inilah yang kemudian membuat media berupaya untuk melebarkan sayapnya untuk dapat membuat sajian karya yang diberikan kepada konsumen menjadi semakin variatif dan berkualitas. Semakin berkualitas sama dengan semakin mahal kontrak yang disepakati oleh pihak media dengan pihak pengkarya. Apalagi jika pengkaryanya sudah menggarap dengan sistem profesional (ada pekerja sesuai dengan keahlian masing-masing), maka semakin tinggi pula nilai kontrak yang harus disepakati. Inilah yang menjadi kemungkinan besar akan membuat media mau tidak mau harus mencari cara agar tidak sampai terkendala kerjasamanya dengan pihak pengkarya hanya karena besaran nilai kontrak yang tak dapat terpenuhi.

Dari sistematika semacam itu, akhirnya menjadi suatu kewajaran yang mau tidak mau harus diterima publik. Meski, tidak menutup kemungkinan dalam memberikan konsekuensi yang negatif bagi media tersebut. Yaitu, menurunnya tingkat kunjungan pada lamannya. Kalaupun ada yang datang, mungkin mereka mencoba mencari yang masih gratis atau biasanya dikenal dengan istilah challenge atau class. Di sini, beberapa karya kemungkinan masih dapat dinikmati secara gratis atau lebih murah dibandingkan dengan karya yang sudah punya nama dan pengunjung (viewers) yang banyak.

Terlepas dari fenomena baca komik web pakai koin, kita bisa menariknya ke fakta sosial sehari-hari masyarakat. Bahwa, kalau ingin makan, ya harus masak atau beli. Bukan dengan meminta atau mencuri. Atau jika ingin makan enak di restoran, maka harus menyiapkan budget yang lebih tinggi daripada sekedar makan di warung tegal di pinggir jalan---walau harga menu makanan juga masih bisa disebut variatif.

Begitu pula dengan saat kita menikmati karya seni, apapun itu. Seni lukis, seni musik, seni tari, seni menyanyi, seni komik, dan seni-seni lainnya. Seperti yang sempat disinggung oleh seorang sastrawan besar di bukunya Tifa Penyair dan Daerahnya, H.B Jassin* menyatakan (sudah disesuaikan dengan penyampaian yang lebih sederhana) bahwa masyarakat terbiasa menikmati sesuatu yang gratis namun berkualitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun