Dengan hilirisasi, nantinya Indonesia akan mengekspor barang jadi bukan barang mentah dan malah balik mengimpor barang jadi yang diproduksi di luar negeri.Â
Lebih lanjut Bahlil juga mengatakan untuk produk dengan kandungan nikel 30 - 40 persen tidak dilarang, namun akan dikenakan pajak ekspor. Kebijakan ini masih masuk pembahasan tahap awal dan belum ada keputusan tetap.
Namun apakah kebijakan ini tepat dibuat disaat Indonesia sedang semangat-semangatnya menjajaki kesempatan menjadi produsen kendaraan listrik dunia?
Melansir Reuters, Dikatakan oleh seorang Konsultan Industri, Steven Brown, bahwa kebijakan berubah-ubah secara tiba-tiba seperti ini dapat menakuti beberapa investor yang sudah tertarik mengembangkan industri terutama industri baterai EV di Indonesia.
Semua pihak pastinya ingin mendapatkan keuntungan, namun perlu juga ditentukan sebuah kepastian agar kedua belah pihak merasa nyaman dan aman dalam melakukan kerja sama.Â
Begitupun dengan calon-calon investor yang masih bisa digandeng oleh Indonesia selain LG dan Hyundai, misalnya Tesla. Jika kebijakan yang ada jelas dan tidak terlalu terburu-buru ingin untung besar, sejumlah investor menjadi berani menanamkan sahamnya di industri Tanah Air.
Lagipula, tidakkah rasanya terlalu terburu-buru jika Indonesia merasa sudah mandiri dan menghentikan ekspor nikel kandungan rendah, yang mana hal tersebut juga mendominasi industri pengolahan RI saat ini seperti nikel pig iron atau feronikel, di saat hilirisasi yang membutuhkan transfer technology, knowledge dan skill dari pihak negara investor baru belakangan ini dimulai?