Mohon tunggu...
Marintan Irecky
Marintan Irecky Mohon Tunggu... Lainnya - ENG - IND Subtitler and Interpreter

Indonesian diaspora who has been living in Saudi Arabia since 2013. Currently interested in topics about women, family and homemaking, and female intra-sexual competition.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[Review] Pendekar Tongkat Emas: Ketika Film Laga Kolosal Digarap Sepenuh Hati

24 Desember 2014   04:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:35 1696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14193447952045372343
14193447952045372343

Properti pendukung film pun digarap dengan sangat detil, mulai dari rumah-rumah penduduk, hingga alat-alat makan dan memasak yang mereka pakai. Semuanya kelihatan tradisional dan sesuai dengan setting waktu zaman dahulu di suatu wilayah antah-berantah. Hanya saja saya menyayangkan beberapa pemeran pendukung wanita yang rambutnya terlihat dikuncir samping dan tampak jepit rambut modern di salah satu adegan.


Demikian pula dengan potongan rambut Slamet Rahardjo dan beberapa pemeran pendukung pria yang rambutnya tidak terlihat bagaikan kumpulan pria dari zaman yang sama dengan Biru ataupun Elang dan para pendekar lainnya. Dengan rambut plontos dan tanpa ikat kepala, Slamet Rahardjo tak ada bedanya dengan pria masa kini yang tengah memakai pakaian adat. Minimnya ruang gerak dan akting juga semakin membuat penampilannya tidak meyakinkan sebagai perwakilan dari Dewan Datuk Persilatan.


Mungkin bila Pendekar Tongkat Emas dibuatkan sekuelnya (atau prekuel mungkin), Slamet Rahardjo bisa diberi lebih banyak dialog dan juga penonton bisa mendapat kesempatan untuk memahami lebih jauh mengapa ada Dewan Datuk Persilatan, apa fungsinya bagi masyarakat selain menjadi juri pertandingan silat dan bagaimana mereka dibentuk.


Satu lagi yang perlu diperhatikan dalam film ini adalah adegan makan yang tak tampak sama sekali pada para pendekar utama. Memang terdapat sepiring makanan dihidangkan bagi salah satu tokoh utama, namun tak tampak dia menyentuh makanannya. Mungkin bagi banyak orang adegan makan sangatlah sepele, namun di sisi lain ini menunjukkan kemanusiaan dan keseharian yang wajar. Terlebih lagi ada banyak adegan di mana para pendekar harus bertarung melawan satu sama lain. Tentulah mereka memerlukan energi untuk mengeluarkan untuk terbang menerkam lawan dan mengeluarkan jurus-jurus andalannya.


Secara keseluruhan, saya sangat suka menonton film Pendekar Tongkat Emas. Bukan karena nama-nama besar para pemerannya, melainkan karena keseriusan penggarapan film ini dan jalan ceritanya yang memikat saya dari awal hingga akhir. Semoga kemunculan Pendekar Tongkat Emas bisa membuat rumah-rumah produksi film lainnya mengekor jejak Miles Films dan KG Studio untuk membuat film-film laga kolosal yang menyemarakkan pilihan tontonan di seluruh bioskop di tanah air.


[caption id="attachment_385425" align="aligncenter" width="538" caption="Nobar Pendekar Tongkat Emas di Setiabudi One 21, 20 Desember 2014 lalu bersama para KOMiK (Kompasianer Only Movie enthus(i)ast Klub). Arsip foto: Aulia Gurdi)"]

1419344482207327955
1419344482207327955
[/caption]


Quotes: Jiwa yang besar tidak menginginkan apapun meskipun mampu memiliki semuanya. Jiwa yang kerdil menginginkan semuanya meskipun tak memiliki apa-apa. (Angin)


*Note: photos on this review are screen captured from the trailer released by Miles Films.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun