Conclave, film laris rilisan 2024 yang meraih anugrah Piala Oscar, berkisah tentang pemilihan orang nomor satu di Gereja Katolik Roma yang berlangsung tanpa calon favorit. Bagi banyak orang, film ini memberikan gambaran sekilas tentang dinamika internal Vatikan yang jarang terungkap di publik.
Film Conclave (2024), karya sutradara Edward Berger, menyuguhkan sebuah drama politik yang sarat dengan ketegangan spiritual dan pergulatan identitas. Lewat proses pemilihan Paus yang sangat tertutup, film ini membuka tabir kehidupan di balik tembok Vatikan yang selama ini menjadi misteri dunia luar. Dengan latar yang penuh simbolisme dan karakter yang kompleks, Conclave bukan sekadar kisah tentang kekuasaan, tapi juga refleksi tentang keberagaman, toleransi, dan perubahan institusional yang sering kali harus melalui pertarungan batin yang berat.
Kompleksitas Karakter: Antara Iman, Ambisi, dan Keraguan
Ralph Fiennes berperan sebagai Kardinal Thomas Lawrence, sosok sentral yang membawa beban besar sebagai dekan College of Cardinals. Fiennes menampilkan Kardinal Lawrence sebagai figur yang berlapis---dia bukan hanya pemimpin yang dihormati, tetapi juga manusia yang penuh keraguan dan pergumulan moral. Lawrence menjadi representasi dari konflik batin antara tanggung jawab terhadap tradisi gereja dan kebutuhan akan reformasi. Akting Fiennes yang subtil dan penuh nuansa membuat karakter ini terasa nyata dan mudah dikenali sebagai gambaran manusia yang menghadapi dilema besar.
Di sisi lain, karakter Kardinal Vincent Benitez (diperankan oleh aktor dengan penampilan misterius dan penuh pesona) memperkenalkan sebuah sudut pandang radikal dan kontroversial. Benitez, yang digambarkan sebagai individu interseks dan latar belakang yang penuh rahasia, menjadi simbol perubahan yang sulit diterima oleh sebagian besar kardinal lain. Melalui Benitez, film ini mengangkat isu-isu tentang inklusivitas dan pergeseran nilai dalam Gereja Katolik yang selama ini identik dengan konservatisme.
Sosok Sister Agnes, yang diperankan oleh Isabella Rossellini, membawa dimensi lain dalam narasi. Sebagai tokoh yang penuh kebijaksanaan dan intrik, dia menjadi penghubung antara dunia spiritual dan politik Vatikan, menggambarkan bagaimana kekuatan perempuan dalam gereja, meski tak selalu di permukaan, memiliki pengaruh yang signifikan.
Simbolisme dan Visual: Vatikan sebagai Benteng Tradisi dan Konflik
Sinematografi Stphane Fontaine sangat menonjolkan kontradiksi visual dalam film ini. Gedung-gedung megah Vatikan, dengan detail arsitektur klasik dan pencahayaan dramatis, menjadi metafora fisik dari institusi yang megah namun penuh ketegangan. Pemanfaatan bayangan dan sudut pengambilan gambar yang sempit menggambarkan isolasi dan rahasia yang menyelimuti proses konklaf.
Kehadiran musik karya Volker Bertelmann semakin memperkaya atmosfer. Instrumen seperti Cristal Baschet menciptakan suara yang tidak biasa dan ethereal, mencerminkan suasana spiritual namun sekaligus tidak nyaman, menggambarkan kegelisahan yang dialami para kardinal dalam proses pemilihan yang penuh ketidakpastian.
Tema Besar tentang Kepastian, Toleransi, dan Persatuan
Salah satu kutipan paling menggugah dalam film ini adalah:
"Certainty is the great enemy of unity. Certainty is the deadly enemy of tolerance."
Kutipan ini menjadi benang merah tema film yang menyentuh aspek fundamental kehidupan sosial dan keagamaan. Ketika seseorang merasa mutlak benar tanpa ruang untuk keraguan, maka di situlah perpecahan dan intoleransi mulai tumbuh.
Film Conclave secara brilian memvisualisasikan bagaimana kepastian yang berlebihan tentang dogma dan tradisi dapat menghambat perubahan dan memecah belah komunitas. Proses pemilihan Paus yang penuh intrik dan rahasia menjadi metafora dari pergulatan lebih luas antara tradisi dan modernitas, antara kekakuan dan fleksibilitas, antara eksklusivitas dan inklusivitas.