Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Kebangkitan AI, Akankah Algoritma Menggantikan Manusia?

29 Maret 2023   21:07 Diperbarui: 29 Maret 2023   21:25 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama berabad-abad sebelumnya, manusia percaya bahwa sumber otoritas yang sebenarnya di dunia bukanlah imajinasi, atau kekuatan kolektif tetapi kebanyakan manusia percaya bahwa otoritas tertinggi berasal dari luar. Kebanyakan dari atas langit. Manusia percaya bahwa otoritas tertinggi berasal dari para dewa.

Sumber otoritas terpenting dalam politik, ekonomi, etika, adalah para dewa agung, kitab suci dan perwakilan mereka di Bumi seperti pendeta, rabi, dukun, khalifah, Paus, dan sebagainya.

Kemudian dalam dua sampai tiga abad terakhir, terjadi revolusi humanis. Di mana terjadi revolusi pada politik, agama dan etika, yang pada dasarnya mengatakan bahwa otoritas tertinggi telah diturunkan dari langit turun ke bumi kepada manusia, jadi sumber otoritas tertinggi di semua bidang kehidupan adalah manusia, khususnya, perasaan dan kehendak bebas individu manusia.

Humanisme mengatakan bahwa ketika menghadapi masalah dalam hidup, entah itu masalah dalam kehidupan pribadi atau kolektif seluruh masyarakat, atau seluruh bangsa, kita tidak perlu mencari jawaban jauh-jauh ke atas langit atau kitab suci atau pemuka agama. Manusia hanya perlu mencari jawabannya di dalam diri sendiri, dalam perasaan dan kehendak bebas.

Ribuan kali kita mendengar slogan-slogan seperti "listen to your heart", "Connect to yourself", atau "follow your heart". Pada dasarnya, "lakukan apa kata hatimu". Semua ini benar-benar merupakan gagasan atau nasihat terpenting tentang otoritas yang terbentuk selama dua atau tiga abad terakhir.

Politik dalam dunia humanis (yang percaya bahwa otoritas tertinggi adalah perasaan manusia) percaya bahwa pemilih adalah "Tuhan" atau otoritas tertinggi. Pemilih tahu yang terbaik. Saat negara (contoh Indonesia) mengambil keputusan politik yang sangat besar semisal siapa yang harus menjadi presiden, kita tidak bertanya pada Tuhan atau para ulama dan pendeta, atau kepada para cendikiawan. Sebaliknya, kita bertanya kepada setiap individu. Kita bertanya pada hasil Pemilu. Dan kebanyakan hasil Pemilu bukanlah hasil pemikiran rasional manusia, melainkan perasaan.

Negara seperti China dan Rusia percaya bahwa demokrasi adalah pertunjukan boneka emosional. Seseorang kandidat mungkin tidak mampu menyediakan fasilitas kesehatan yang baik tapi bisa bikin kita mencintainya dan membenci oposisi (yang justru sangat mampu menyediakan fasilitas kesehatan).

Jadi asumsi umum dalam politik humanis adalah bahwa tidak ada otoritas yang lebih tinggi daripada perasaan manusia. Pada abad pertengahan para ahli agama mengatakan "okelah, kalau menurutmu begini atau merasa begitu tapi kamu tetap salah karena perintah otoritas tertinggi di atas langit yang disampaikan representasinya di bumi mengatakan sebaliknya."

Tapi tidak dalam politik humanis, apalagi dalam demokrasi moderen, perasaan manusia adalah sumber otoritas tertinggi.

Hal yang sama juga berlaku di bidang ekonomi. Ekonomi humanis adalah pandangan ekonomi yang mengatakan bahwa otoritas tertinggi adalah perasaan dan keinginan individu pelanggan. Pelanggan selalu benar. Pelanggan adalah Raja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun