Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masih Relevankah Pancasila dengan Masa Kini?

2 Juni 2022   19:35 Diperbarui: 2 Juni 2022   21:14 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: iNews

"Melihat jauh ke belakang, sejarah manusia dibangun di atas kecerobohan. Kita bahkan memanggil diri sendiri Homo Sapiens, yang artinya manusia bijak." Yuval Noah Harari, filsuf, sejarahwan dan penulis buku terlaris Sapiens: Brief History of Humandkind.

Kutipan di atas sebenarnya merupakan sindiran terhadap "kecerobohan" manusia, saking cerobohnya kita bahkan tidak mengetahui bahwa kita makhluk yang ceroboh, dan malah menamai diri sendiri yang notabene "ceroboh" dengan sebutan "manusia bijak".

Skeptis amat si Yuval! Pantas saja, di halaman Endorsement buku (Sapiens), Barack Obama menyebut bukunya sebagai "buku paling skeptis terhadap kemanusiaan."

Sebenarnya Yuval tidak skeptis. Kalau membaca keseluruhan bukunya, kita akan mendapati paparan sejarah yang akan kita tertawai "kok, bisa ya. Dulunya orang berpikir seperti itu atau wah ternyata sampai sekarang ada juga yang berpikir seperti ini." tapi di tengah-tengah kita juga (lebih) sering menertawakan diri sendiri "eh, ternyata saya juga ceroboh."

Misalnya sistem kasta Hanurabi yang masih membekas pada beberapa suku di India hingga saat ini. Pada sistem kasta ini, jika terlahir sebagai seorang budak, maka selamanya akan tetap menjadi seorang budak, yang tidak pantas duduk sederajat dengan kasta di atasnya. Sebagian dari kita akan menganggapnya sebagai sebuah "kecerobohan" dalam bernegara. 

Di sisi lain, suku India ini justru mengganggap kitalah si ceroboh karena tidak sadar kalau kita sendiri masih menerapkan sistem kasta, seperti perlakuan yang berbeda terhadap pejabat, bos atau bawahan di kantor, tokoh agama, kepala suku, orang yang lebih tua, bahkan jenis kelamin, dsb. Artinya, kalau sistem kasta ini "ceroboh", lebih ceroboh lagi kita yang tidak mampu melihat "kecerobohan" diri sendiri yang masih menerapkan sistem kasta tanpa disadari.

Kecerobohan yang dimaksud Yuval adalah ideologi. Memang sulit untuk berpikir bagaimana seseorang hidup tanpa ideologi karena merupakan kiblat berpikir, bertingkah laku, dan (seringkali) tujuan hidup manusia. 

Sayangnya, ketika mendewakan ideologi, manusia cenderung ceroboh dalam mengambil keputusan. Contoh paling populer adalah Jerman era Hitler dengan super nasionalnya. 

Menyoal ideologi, orang berideologi disebut ideolog. Mengutip perkataan seorang filsuf, akademisi, dan intelektual publik Indonesia, Rocky Gerung, gelar ideolog pada awalnya merupakan sindiran yang diberikan kepada orang yang tidak mampu berpikir kritis alias "planga-plongo" karena fanatisme yang membuat penyandangnya tak mampu berpikiran terbuka. Segala sesuatu yang dipercayai mereka, dianggap "final, dan tak bisa diperdebatkan lagi". 

Saya sempat menggambarkan konsekuensi dari cara berpikir seperti ini di sebuah artikel pada 2020 silam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun