Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kintsugi dan Seni Merangkai Luka Menjadi Sesuatu yang Tangguh

30 Januari 2021   14:30 Diperbarui: 30 Januari 2021   17:53 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya merupakan salah satu dari orang-orang yang bekas lukanya terlihat, baik fisik maupun emosional. Bekas luka yang pertama (fisik) kali kamu lihat saat bertemu denganku ada di bibir atas. Terlihat seperti kerutan kulit tapi bekas itu merupakan simpul keras yang mengikat kulit seperti keliman yang tidak diperbaiki dengan sempurna. Luka kedua tidak terlalu kelihatan, hanya bisa terlihat setelah kita berteman lama (atau bisa ditanyakan langsung kepada keluarga saya). 

Selama bertahun-tahun, luka lama saya, kerentanan itu, telah memberi izin kepada orang-orang untuk berbagi kerentanan mereka yang tidak terlihat dengan saya. Memang saya bukan orang pertama yang melakukan pengamatan ini, tetapi saya telah belajar bahwa tidak peduli seberapa besar kebersamaan seseorang terlihat, kebanyakan dari kita menyimpan daftar pribadi yang rusak, hal-hal yang menurut kita perlu disembunyikan atau dihapus.

Andai saja kita bisa memperbaiki asimetri itu, kita memberitahu diri kita sendiri, atau mengisi celah itu dan menemukan unsur yang hilang itu dengan (entah) gelar, berat badan tertentu, obat untuk beberapa kecemasan atau penerimaan dalam kelompok yang kita dambakan, untuk akhirnya bisa bikin kita merasa utuh . 

Ketika memikirkan semua hal yang membuat kita merasa tidak berharga, belum selesai, atau hancur, saya mengingat sebuah kutipan yang lupa saya baca di mana:

Bekas luka bukanlah tanda kerusakan, hanya merupakan tanda bahwa sesuatu belum selesai. 

Betapa transformatifnya jika kita dapat menerima gagasan bahwa belum selesai adalah keadaan alami dan permanen kita? Apakah mungkin bagi kita untuk menerima bahwa tidak ada perbaikan yang mulus untuk apa yang membuat kita sakit secara individu atau sebagai komunitas? 

Jalan kita, (jika beruntung), merupakan evolusi tanpa akhir. Kita akan membawa serta bekas luka dalam tahun-tahun yang panjang ini, dan semua sejarah kita.

Dan sebagai seseorang yang menghabiskan waktu bertahun-tahun mencoba menutupi, mengalihkan perhatian, atau menghilangkan bekas luka yang dalam, bisa saya katakan: bahkan jika tidak ada orang lain yang melihatnya, kita tidak akan pernah melupakannya. Artinya, luka itu akan tinggal selamanya bersama memori.

Kutipan lain yang saya baca (kali ini saya ingat) oleh Daeng Khrisna Pabichara di Instagramnya (mohon dikoreksi yah Daeng):

Mengetahui bahwa doa adalah luka, aku pun berhenti berteman duka. 

Dari yang saya tangkap, kita adalah makhluk yang tercipta sebagai pendoa, yang tak bisa terlepas dari doa, seperti halnya luka, yang tidak terhindarkan. Kita hanya harus belajar untuk tidak tenggelam di dalamnya (duka). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun