Mohon tunggu...
Deana Derawati
Deana Derawati Mohon Tunggu... Penulis - Blog ini membahas seputar politik, sosial, dan gejala-gejala yang terjadi di masyarakat

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemanfaatan SDA Berbanding Terbalik dengan Kompetensi SDM

3 Oktober 2020   09:15 Diperbarui: 3 Oktober 2020   09:19 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tema ini berawal dari kegeraman saya tadi pagi, saat saya ke sebuah sarana/fasilitas pemerintahan untuk mendapatkan layanan publik. Sesampainya saya di sana, kantor pelayanan publik tersebut sudah dalam kondisi ramai, lalu saya memberanikan diri untuk bertanya kepada salah seorang warga apakah pelayanan sudah dibuka atau belum, "Belum teh, orang yang ngelayaninnya belum dateng" jawabnya. Padahal saat itu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB, sangat jelas itu sudah masuk jam operasional bagi kantor pemerintahan semacam itu.

Saya pun menunggu sambil memerhatikan setiap keadaan dengan seksama. Tak lama kemudian, ada suatu kejadian yang membuat saya sangat menyayangkan keadaan tersebut, salah seorang pria menggunakan seragam PNS datang dan langsung masuk ke ruang pelayanan. Hal pertama yang terbesit dalam benak saya adalah "Korupsi Waktu".

Jujur, sampai detik saya menulis literasi ini. Saya masih bertanya-tanya "Kenapa sih orang-orang yang tidak kompeten masih terpakai di aparatur pemerintahan?". Sebab bukan pertama kali saya mengalami hal semacam ini.

Pertama, pada saat saya datang ke sebuah PUSKESMAS di dekat tempat tinggal saya, saat itu terlihat beberapa orang yang sudah mengantri dari pagi buta demi mendapatkan nomor antrian pasien yang setiap hari selalu dibatas jumlahnya, ternyata tak jarang dari orang-orang tersebut adalah keluarga dari calon pasien yang rela mengantri agar kerabatnya yang sedang sakit bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Saya mewajari hal itu, ya!

Memang itu sudah menjadi salah satu kebiasaan disini untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun hal yang saya anggap miris yakni ketika saya berada di loket pendaftaran, tiba-tiba datang seorang bapak menghampiri salah satu petugas di loket itu, ia berbisik "Mana sini nomor pendaftaran yang udah dibooking kemarin sore" sambil memberikan sejumlah uang kepada petugas yang kemudian memberikannya nomor antrian awal.

Saat itu saya berpikir, apakah hanya orang mampu secara finansial yang boleh sakit? Sebab bagi mereka mendapatkan pelayanan kesehatan sangatlah mudah, saat di sisi lain orang-orang kecil mesti mengantri sejak pagi buta untuk mendapatkan pelayanan yang sama. Bukankah mendapatkan pelayanan kesehatan itu sudah menjadi salah satu hak bagi warga negara? Sebab dalam pasal 28H ayat 1 sudah jelas menerangkan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, juga anggaran yang diperuntukkan bidang kesehatan tidaklah sedikit. Lantas mengapa dalam penerapannya masih saja dibedakan dengan tingkatan sosial?

Kedua, menurut saya hal kali ini bisa dibilang hal yang lumayan fatal. Pasalnya, saat saya mendatangi kantor desa di tempat tinggal saya, diketahui bahwa mereka yang bekerja disana sangat awam sekali dalam penggunaan device, untuk mengetik huruf demi huruf di keyboard pun mereka sangat meraba, hingga untuk mendapatkan sebuah surat keterangan dari desa saat itu saya harus mengetiknya sendiri.

"Da abdi teh ngan lulusan SD neng, wajarkeun bae nyah lamun teu bisa main komputer" seru mereka. Dari pengakuan mereka sudah terjelaskan pula bahwa tingkat pendidikan mereka pun bisa dikatakan rendah. Mereka dipilih menjadi perangkat desa bukan karna kompetensi mereka, melainkan karna relasi kedekatan mereka dengan Kepala Desa.

Selain itu, perkembangan kemajuan desa saat ini pun belum sebanding dengan pemberian dana desa yang telah digelontorkan dari pusat. Misalnya saja dana desa yang di untuk kegiatan PKK yang tercantum dalam laporan keuangan desa, akan tetapi pada kenyataannya kelompok PKK nya saja tidak ada, lalu dana pengeboran air yang juga tercantum dalam laporan keuangan desa guna kepentingan warga setempat yang pada hakikatnya air tersebut hanya dipakai oleh satu dua orang yang memiliki  kepentingan.

Saya percaya bahwa sebesar apapun dana yang telah diberikan dari pusat untuk pembangunan desa tidak akan menghasilkan apapun, apabila SDM pengelolanya masih belum mumpuni dalam mengelola dana tersebut.

Berdasarkan info yang saya dapat, Dewan Pendidikan Provinsi Banten mengakui masih banyak persoalan Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjadi Pekerjaan Rumah Pemerintah Provinsi Banten yang harus segera diselesaikan. SDM yang dimaksud tersebar di setiap posisi, baik sebagai tenaga pendidik, jabatan fungsional maupun pada jabatan struktural.

Kemudian Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pandeglang juga menyebutkan bahwa mutu pendidikan di Kab. Pandeglang bisa dikatakan buruk, disebabkan pula oleh SDM. Beliau mengatakan "mereka, kan sudah punya tukin (tunjangan kinerja), tinggal mungkin guru-guru itu meningkatkan SDM-nya, jadi harus malu, dengan sekolah swasta yang lebih bagus mutu pendidikannya".

Menurut saya ini juga bisa dikatakan sebagai ketimpangan sosial, sebab kita semua tahu bagaimana kualitas pendidikan di daerah-daerah maju yang dekat dengan ibukota, ini akan sangat mengkhawatirkan, sebab apabila kualitas pendidikan dari daerah yang tertinggal masih buruk, lalu apa kabar output yang dihasilkan? Kita sangat memerlukan putra daerah tersebut untuk membawa daerahnya yang tertinggal, bangkit menjadi daerah yang terdepan.

Kemudian sesuai dengan sub-tema yang saya buat. Ya, selain dari aspek sumber daya manusia-nya, disini juga saya ingin menyoroti bidang sumber daya alamnya, sebab bagi saya SDA juga tidak kalah penting dari SDM.

Bagi saya ini sangatlah ironis. Sebab tahukah kamu? Bahwa kabupaten yang menjadi wilayah dengan sumber daya alam terkaya di banten, sekaligus menyandang predikat sebagai kabupaten termiskin. Nampak isu kemiskinan masih saja menjadi persoalan yang belum teratasi. Menurut saya, hal ini juga disebabkan oleh ketidak-maksimalan sumber daya manusia nya dalam mengelola SDA.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019, kemiskinan di Pandeglang tercatat sebesar 9,61% yang menempatkan Pandeglang sebagai daerah termiskin di Provinsi Banten. Hal ini sangat mengherankan bagi saya, sebab berdasarkan data yang didapatkan tiga tahun terakhir ini APBD Pandeglang sudah cukup baik dan menembus angka 2,6 Trilyun.

Selain itu Kab.Pandeglang merupakan satu dari dua wilayah di Provinsi Banten yang mempunyai potensi SDA cukup besar karena masih menyimpan potensi sumber daya air, pertanian, kehutanan, pertambangan, dan pariwisata yang belum dikelola secara optimal. Berdasarkan informasi yang saya baca dari salah satu berita online, disitu dinyatakan bahwa Ketua Badan Pemantau Pembangunan Provinsi Banten menyatakan kekecewaannya terhadap kinerja pemerintah setempat.

"Banyak kepemimpinan di daerah yang telah menunjukkan prestasinya, sehingga wilayahnya mengalami perubahan ke arah lebih baik. Namun Pandeglang selama ini sulit untuk bangkit dari daerah tertinggal saja, karena hanya ingin mendapatkan bantuan anggaran dari pusat, dan sulit untuk menjadi daerah maju dan berkembang," demikian ujarnya. Ya, saya rasa beliau pun memiliki pemikiran yang sama dengan saya, lagi dan lagi hal yang disayangkan adalah kinerja dari sumber daya manusianya.

Selain daripada itu, menyangkut SDA diketahui bahwa hasil pertanian berupa padi dan palawija memadai dan bisa menjadi surplus apabila diterapkan teknologi tepat guna. SDA yang juga menjanjikan ialah pertambangan berupa tambang emas di Cikotok, namun pemanfaatan SDA belum menyejahterakan masyarakat setempat, cikotok yang dulunya ramai dengan kehidupan pertambangan, kini tak ada bedanya dengan kota kecil lainnya.

Beberapa aset bangunan Unit Pertambangan Emas Cikotok (UPEC) PT Aneka Tambang kini dialihfungsikan. Kantornya pun kini menjadi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Cibeber. Kemudian setelah PT Aneka Tambang tidak beroperasi, kini masyarakat sekitar yang melakukan kegiatan pertambangan ilegal yang dibawahi oleh "Cukong", para gurandil tersebut diberikan upah kecil yang tidak sebanding dengan tenaga mereka. Seolah warga lokal menjadi budak di rumah mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun