Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seberapa Penting Qanun Poligami Aceh?

12 Juli 2019   01:49 Diperbarui: 12 Juli 2019   02:27 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poligami kembali menuai kontroversi. Kali ini dari Provinsi Serambi Mekah dengan rencana penerbitan Qanun yang melegalkan Poligami.

Sebagai catatan istilah poligami yang digunakan ini lebih tepat merujuk pada poligini. Karena poligami terdiri atas poligini untuk laki-laki beristri lebih dari satu, dan poliandri wanita bersuami lebih dari satu. Islam dengan tegas melarang poliandri, sementara poligami diperbolehkan.

Pertanyaan yang pertama-tama muncul dalam pikiran saya adalah: sejak kapan negara melarang seorang laki-laki untuk memiliki istri lebih dari satu? Adakah UU di Indonesia yang secara tegas melarang penduduknya berpoligini?

Jawaban dari kedua pertanyaan itu, sepengetahuan saya: tidak.

Adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (1) huruf A tentang perkawinan, lebih pada pengaturan. Yaitu adanya persetujuan istri/istri-istri bagi suami yang mengajukan izin poligini, artinya itu mengatur tata cara dan perizinannya, bukan melarang apalagi menutup pintu kebolehan laki-laki untuk berpoligami.

Terlebih bagi mereka yang berstatus pegawai negeri atau ASN, negara mensyaratkan keharusan adanya izin dari atasan.

Dalam pandangan penulis, persyaratan ini dikarenakan gaji atau penghasilan yang diberikan oleh negara relatif hanya bisa digunakan untuk membiayai sebuah keluarga inti. Tunjangan anak dari negara hanya sampai anak ketiga, dan tidak ada tunjangan negara untuk istri kedua. Sehingga dikhawatirkan seorang ASN yang dituntut untuk melayani masyarakat akan melalaikan tugasnya, atau lebih jauh lagi korupsi, untuk memenuhi kebutuhan istri-istri dan anak-anaknya.

Sementara itu dalam Islam, perdebatan tentang poligini sebetulnya sudah selesai sejak kehadiran Rasulullah Saw. Di zaman jahiliyah, orang beristri banyak bahkan hingga puluhan adalah hal biasa. Mereka tidak peduli hak-hak perempuan saat menikah lagi. Saat Islam turun, diatur jumlah maksimal istri seorang laki-laki, dan hak-hak istri yang harus dipenuhi seorang laki-laki dan kewajibannya saat berpoligami.

Seiring perubahan zaman dan kondisi sosial masyarakat, dari feodalisme menuju masyarakat egaliter, praktik poligini semakin ditinggalkan. Bahkan di era modern ini muncul gerakan feminisme yang menentang poligini. Akibatnya sebagai anti tesis, gerakan pro-poligini dengan back-up dalil agama kemudian menguat, dengan menyatakan poligini sunnah karena dicontohkan Rasulullah Saw.

Sebelum membahas sunnah poligini, mari kita tinjau pertanyaan ini terlebih dahulu: apakah hukum puasa bagi muslim?

Jawabannya macam-macam, bisa wajib, sunnah, bahkan haram, tergantung faktor-faktor pelaksanaannya. Misal: puasa ramadhan wajib, puasa rajab sunah, puasa hari tasyrik jelas haram. Sholat sekali pun hukumnya tidak tunggal semuanya wajib, bisa sunnah bisa haram, karena terkait faktor pelaksanaannya.

Poligini sama persis. Bahkan poligini akarnya tidak termasuk  ibadah yang disyariatkan, sebagaimana puasa, zakat atau shalat. Sehingga kalangan yang menetapkan hukum tunggal  dengan menghukumi poligini sunnah melakukan kekeliruan sangat besar, jika alasannya karena dilakukan Rasulullah Saw.

Patut dicatat bahwa meskipun Rasulullah beristri lebih dari satu, tetapi Rasulullah hanya memiliki 1 orang istri sampai Siti Khadijah wafat. Demikian halnya Sayidina Ali Kwh, hanya beristrikan satu orang sampai wafatnya Fathimah Azzahra, sebelum kemudian menikah lagi.

Jadi Islam memang tidak melarang poligini, tetapi mengaturnya. Islam membolehkan, sekali lagi membolehkan dan mengaturnya, itu hukum asalnya.

Kemudian poligini bisa menjadi sunnah, dengan beberapa pertimbangan. Menjadi wajib bisa juga, meski pun kasus untuk ini langka. Tapi jadi haram juga bisa. Banyak kasus di masyarakat orang yang menyalahgunakan poligini dengan alasan sunah, padahal sekedar memuaskan hawa nafsunya. Kalau hasil dari berpoligini keluarga berantakan, anak terlantar, dan timbul fitnah, haramnya menjadi jelas.

Undang-undang dari negara sudah ada, dan tidak ada larangan. Itu dimaksudkan agar hak laki-laki untuk poligini tidak disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Bahwa dalam berpoligini timbul kewajiban tambahan bagi laki-laki, ada hak-hak istri-istri yang harus dipenuhi seorang laki-laki, ada hak anak-anak. Kalau untuk memenuhi hak seorang istri saja tidak mampu, sebaiknya dipertimbangkan lagi jika hendak berpoligini.

Maka kalau ada laki-laki berminat poligini, kembalikan saja pada pribadi masing-masing. Laki-laki itu dan keluarganya yang berhak menilai diri mereka sendiri.

Kemudian pertanyaan yang muncul terkait rencana aturan yang membolehkan poligini di Aceh adalah: seberapa perlu dan penting aturan tersebut jika payung hukumnya sudah lama ada?

Kita tidak perlu menjawabnya. Tetapi daripada untuk memperdebatkan poligini yang sudah lama selesai, sepertinya akan lebih bermanfaat jika anggaran pembahasan peraturan itu digunakan untuk membahas peningkatan ekonomi masyarakat, pengembangan pendidikan, pelestarian lingkungan atau upaya-upaya mengentaskan kesenjangan sosial dan ekonomi. Atau bahkan mungkin lebih baik untuk membantu mereka yang kurang mampu dan belum menikah agar dapat segera menikah.

Bagaimana menurut pendapat anda?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun