"Dek, banguuunn! Ayo sahur! Lima menit lagi imsyak!" kataku tak sabar menggoyang-goyangkan tubuh adik laki-lakiku.Â
Dengan terkejut adikku memaksakan diri membuka mata sambil bergegas duduk dari tidurnya. Ia mencari-cari ponsel yang ada di meja dekat kasur. "Masih jam 3 gini lhoo. Mbak bohong!" ucapnya kesal dan akan melanjutkan tidur.Â
"Heh, jangan tidur lagi ntar bablas malah nggak sahur. Ayo buruan mama bikin ayam kriyuk," kataku yang langsung membuatnya melompat dan berlari menuju meja makan. Dasar, anak ayam!Â
Eh, maksudku bukan dia anaknya ayam. Tapi, saking sukanya adikku pada ayam kriuk sampai membuatku ingin menjulukinya begitu. Aku sampai bosan dengan menu ayam dan enggan memesan ayam saat sedang makan di luar.Â
Aku memandang adikku yang sedang makan ayam krispi kesukaannya dengan lahap. Kalau diperhatikan, badannya sekarang sudah sedikit lebih tinggi. Remaja kelas 2 SMP itu tidak lagi mendongak saat berbicara denganku yang memiliki tinggi badan 170 cm. Ah, cepat sekali waktu berlalu. Mungkin ini yang dirasakan seluruh orang tua saat melihat anaknya tumbuh.Â
Masih segar dalam ingat saat ia awal-awal puasa maghrib di kelas 3 SD. hampir setiap jam 3 sore, ia berdiri di depan kulkas. Membuka tutup pintu kulkas seraya bertanya pada ibu, "Ma, aku mokel ya," ujarnya meminta izin pada ibu dengan sedikit resah.Â
"Bentar lagi. Sabar toh. Cuma nunggu 3 jam lagi lho kan sayang," jawab ibu berusaha menenangkan adik sambil tetap fokus memasak.Â
Suara pintu kulkas yang tadinya berisik kini berganti rengekan. Adikku mulai menangis memaksa diizinkan untuk membatalkan puasa. Dari depan pintu kamar, aku menghampiri adik sambil membawa ponsel untuk merekamnya.Â
"Dih, mokeeell! Aku kirim videonya ke ustadzah," godaku mengarahkan kamera ponsel ke wajahnya yang berlinang air mata.Â
"Mbak, ah! Kok adeknya malah digudo itu lho."