Mohon tunggu...
Dea Ayu
Dea Ayu Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Sekolah

mahasiswa yang sedang mengisi waktu luang untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Hantu Merah

12 September 2022   10:32 Diperbarui: 14 September 2022   21:01 1045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Rumah Angker. (sumber: pixabay.com/Activedia)

"Wah, ternyata ia punya teman lain selain kamu ya."

Kami semua menatap fokus pada film di layar lebar. Film action selalu menantang dan seru, aku suka. Terlihat si pemeran utama, laki-laki plontos berotot besar, melompat dengan berani pada mobil yang dikendarai lawannya. Kaca pecah, menyembur menyayat tulang pipinya. Wah dia begitu keren.

Semua menikmati adegan menegangkannya, sambil sesekali berteriak kaget. Kuedarkan pandang, berharap menemukan sosok Risa. Tapi nyatanya aku tak menemukan batang hidungnya dimanapun. 

Tetapi ada satu hal ganjal, sekelompok pria dewasa di belakang sana sedang berbincang serius. Dahi mereka saling berkerut tegang. 

Diam-diam aku menghampiri mereka, mencoba menguping pembicaraan. Karena jarak yang terlalu jauh, akupun hanya mendengar samar-samar. 

Salah satu dari mereka menyebutkan "rumah angker". Di desa ini hanya ada satu rumah angker. Tiba-tiba aku teringat, bukankah Risa sedang berada di sana?

Aku berlari kencang menuju rumah tua. Sesampainya di sana ternya sudah ada banyak orang. Aku menyelinap diantara kerumunan. Dalam hati aku berdoa semoga sahabatku baik-baik saja. 

Terlihat di bawah rindangnya pohon mangga, di atas dedaunan kering yang berserakan, terbaring sosok gadis berbaju biru bersimbah darah. Ia tengkurap sehingga aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi aku kenal dengan baju biru itu, itu adalah baju yang tadi dikenakan oleh Risa.

Para warga mengangkat tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Bagai dihantam batu, jantungku berpacu 1000 kali lebih cepat. Risa, kaukah itu? Mataku panas, lidahku kelu.

Seolah syaraf di tubuhku berhenti bekerja. Wajah penuh darah sahabatku berkeliat di benakku. Ia sudah tiada, padahal beberapa jam lalu kami masih saling bercanda dan bertengkar.

Aku terduduk lesu menangis tersedu-sedu,terbayang wajah penuh darah itu, aku menangis sejadi-jadinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun