Mohon tunggu...
Deanisa Rahmani
Deanisa Rahmani Mohon Tunggu... lainnya -

Pemimpi kecil :)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karena Manusia Tidak Diciptakan Sama

14 September 2013   12:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:54 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ada hal, yang mana hanya kita dan tuhan yang mengerti. Hal dimana tidak ada seorang pun yang peduli, membiarkan semuanya berjalan selayaknya. Duniaku bukan duniamu begitulah duniamu juga bukan duniaku. Aku berhenti berfikir untuk satu harap. Harapan yang entah kapan aku fikirkan. Sampai pada masa aku membutuhkan waktu.

Aku lupa, bahwa waktu berfungsi ganda. Ia memberikanku kelonggaran, membuat aku terlena dengan segala toleransinya. Aku lupa bahwa waktu juga berfungsi untuk melupakan. Sampai aku tersadar bahwa aku ingin. Nyatanya waktu telah menghapusnya menjadi butiran masa lalu. Iya.. aku ingin berhenti menangisi kenangan. Aku lelah berkejaran dengan tekanan. Entah sudah berapa kali aku belajar melepaskan dan ikhlas, namun akhirnya nihil. Aku masih saja tertuju pada satu fokus.

Pada masa ini, aku ingin belajar dari masa laluku. Aku tidak ingin waktu menghapus segala kesempatan yang diberikan tuhan padaku. Aku tidak ingin mengerdilkan diriku. Aku tidak ingin menangisi sesuatu yang tidak pernah aku lakukan, aku tidak ingin menangisi sesuatu yang sebenarnya hanya ada dalam imajinasiku. Aku ingin berhenti, menyesali keadaan yang entah sudah bagaimana jadinya. Keadaan yang semakin keruh karena imajinasiku sendiri.

Apa yang lebih menyakitkan dari kehilangan kesempatan? Padahal tuhan sudah memberi selebar-lebarnya pintu? Rasanya.. menangisinya pun tidak akan menghabiskan seluruh air mata. Aku ingin berhenti, menyalahi masa lalu. Aku tidak diciptakan dengan dua mata yang menghadap kebelakang bukan? aku diciptakan dengan sebaik-baik bentuk. Jika saja aku berfikir.

Aku ingin berhenti mengeluhkan segalanya, apa yang ada dan tidak ada padaku. Aku ingin berhenti untuk takut menjadi diriku. Aku diciptakan sebaik-baik bentuk, jika saja aku berfikir. Aku ingin berhenti untuk hidup mengiblat pada orang lain. Entah dimana rasanya selalu saja ada yang salah. Selalu saja tidak ada habisnya. Hingga akhirnya aku lelah sendiri.

Apa yang lebih lelah dari hidup dengan bayang orang lain? Terus mati-matian untuk menjadi sepertinya padahal setiap manusia tidak diciptakan sama?

Apa yang lebih lelah dari hidup dengan menuruti kemauan orang lain? Rasanya, segala yang dilakukan tidak ada habisnya. Rasanya sebagus-bagus yang diraih, tetap saja kurang. Dimana rasa syukurnya?

Perbedaan antara ambisi dan tidak bersyukur itu tipis. Entah dimana perbedaannya, hanya hati yang bisa menilai. Bukankah tuhan sudah menggariskan? Bukan maksud tidak ingin menjadi lebih baik, tapi jika tidak mensyukuri apa yang ada? Entahlah.. setiap orang punya pandangan masing-masing tentang arti bersyukur.

Lalu pada akhirnya hanya tuhan yang mengerti. Adakalnya hal yang terlihat berkilau dimata orang lain, belum tentu berkilau juga dimatamu. Setiap orang punya pandangan tersendiri tentang arti sebuah ‘kilauan’. Lalu pada akhirnya hanya tuhan yang mengerti. Iya.. hanya tuhan. Tuhan yang mengerti tentang segala gelisah, tentang segala harap, tentang segala usaha, tentang segala-galanya aku. karena manusia tidak diciptakan sama.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun