Mohon tunggu...
Dede Prandana Putra
Dede Prandana Putra Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Alumni HMI dan Kaum Muda Syarikat Islam | Sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang pernah berkuliah Pascasarjana jurusan Kajian Ketahanan Nasional UI

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Babak Baru Melawan Covid-19, Cukup Karantina Kesehatan, Tak Perlu Darurat Sipil

31 Maret 2020   19:19 Diperbarui: 1 April 2020   08:20 5969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo memberikan keterangan pers saat meninjau Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Senin (23/3/2020). Presiden Joko Widodo memastikan Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran siap digunakan untuk menangani 3.000 pasien.(ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A)

Ketiga status darurat tersebut berfungsi untuk menanggulangi krisis yang sedang dihadapi oleh negara. Bisa jadi krisis tersebut adalah perang, pemberontakan, bencana, kerusuhan, atau jenis keadaan lain yang mengancam eksistensi negara.

Saya sepakat jika pandemi Corona adalah sebuah krisis, karena telah mengancam masyarakat dan tentu saja mengancam negara.

Pemerintah pun sudah menetapkan pandemi Corona ini sebagai bencana non-alam, sehingga proses penanganannya pun diketuai oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau kita sebut dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Akan tetapi, yang jadi pertanyaan, apakah perlu menghadapi pandemi pakai aturan darurat sipil?

Sama-sama kita ketahui bahwa darurat sipil itu merupakan situasi yang tidak main-main. Kebijakan darurat sipil akan memberikan wewenang yang sangat besar bagi pemerintah beserta aparaturnya.

Dalam keadaan darurat sipil, seperti yang terdapat dalam pasal 13 Perppu Nomor 23 Tahun 1959 mengatakan bahwa pemerintah diperbolehkan untuk membatasi hak masyarakat untuk berbicara atau menyampaikan pendapat, hak untuk bergerak, dan hak untuk berkumpul.

Sebenarnya, dengan kebijakan jaga jarak dan di rumah saja, masyarakat sudah merasakan bahwa hak untuk bergerak dan hak untuk berkumpul dibatasi. Padahal, dalam situasi seperti sekarang, pemerintah tidak perlu untuk membungkam kritikan yang disampaikan oleh warga negara.

Toh, sebenarnya dengan kritikan dan pendapat dari warga negara secara langsung, pemerintah dapat melakukan upaya yang lebih maksimal lagi. Kritik justru merupakan bagian yang penting dan tidak boleh hilang untuk menjaga demokrasi kita.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, hak untuk berbicara atau menyampaikan pendapat merupakan satu-satunya hak yang tersedia di saat kita sama-sama ingin memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Hak tersebut dilindungi oleh Undang-Undang Dasar.

Jadi, apapun alasannya, tidak tepat kiranya pemerintah menerapkan darurat sipil yang akan memberangus hak konstitusional warga negara yang tidak ada hubungannya dengan upaya memutus mata rantai penyebaran virus Corona.

Meminjam istilah dari Yuval Noah Harari, yang mengatakan bahwa dalam situasi krisis, negara memiliki tendensi untuk melakukan pengawasan menyeluruh (total surveilence) dan pendisiplinan masyarakat. Pengawasan dan pendisiplinan selalu mucul untuk menangani sebuah krisis, meskipun dengan cara yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun