“Dian, kamu akan melihat impian kita segera terwujud”
“Ya, mas. Aku pun melihat jalan itu terbentang untuk bisa kita lalui”
Tapi, akhirnya, kerenggangan pola yang telah disusun, kembali terjadi. Berulang dan terulang kembali. Dan selalu siklus penyelesaian dengan model yang sama. Kami berdua memendam sekam beda pandang. Dan selalu bertambah sekam demi sekam. Dan suatu waktu percik api akan membakar semuanya. Pantikan-pantikan sudah muncul tapi siraman air mematikannya segera.
“Aku ingin selalu bersamamu, mas. Meski terasa lelah menyatukan beda ini”
“Tapi, aku tetap yakin akan mimpiku, mas”, hiburmu yang selalu kamu ucapkan.
***
Andai dulu kau tak pergi dari hidupku/ Takkan mungkin kutemui cinta yang kini kumiliki/ Cinta yang menerima kekurangan/ Dan merubah caraku memandang dunia
Andai dulu kupaksakan t'rus bersamamu/ Belum tentu kisah kita berdua berakhir bahagia/ Kisah yang mendewasakan kita berdua/ Meski lewat luka
Dan pagi itu, seperti biasa aku menjemputmu untuk menunggu kuliah lanjutan yang akan kamu jalani di siang ini. Dan seperti biasa, taman di dekat lapangan basket menjadikan tujuan kami berdua. Dengan membawa satu bungkus kacang, kita melenggang ke sana, duduk berbincang dan membaca buku-buku kuliah seperti biasa.
Burung kutilang yang bertengger di pohon cemara pun, menyanyikan kicau indah. Seakan ikut memberikan alunan musik melalui tembangnya. Suara ini menemani obrolan kita yang awalnya tak berujung. Angin sepoi juga memberikan hembusan syahdu. Mereka tau, ada dua anak manusia sedang memilin dan menjalin kasih. Suasananya sangat romansa bagi kami berdua. Dan hari ini tampak lain, semua berikan nuansa biru.
Matahari pun mulai beranjak naik, sinar ultraviolet-nya di penghujung pudar dan akan menjadi terik. Jam di di tangan menunjuk angka sepuluh. Di saat diskusi kita mulai memanas. Dari topik yang kecil, mulai mengoyak jalinan benang. Dan harap berdua, akan berakhir seperti puluhan kali terjadi. Patikan api akan tersiram air dengan sendirinya. Dan padam.