Pengantar
Pemerintah diuji ketika kata-kata menjadi cermin kekuasaan. Komunikasi dalam ranah politik bukan sekadar transmisi informasi, melainkan seni membangun kepercayaan. Kata-kata yang lahir dari mulut penguasa akan diuji di hati rakyat. Bila narasi pemerintah berkata "Indonesia cerah" sementara sebagian masyarakat merasakan "Indonesia gelap", maka komunikasi kehilangan daya ikatnya. Bila jargon "Indonesia emas" justru diterjemahkan rakyat sebagai "Indonesia cemas", maka pesan resmi berubah menjadi ironi sosial.
Di sinilah komunikasi pemerintah menemukan tantangan terbesar: bukan hanya berbicara, melainkan memastikan kata-kata merefleksikan kenyataan. Tugas itulah yang kini diemban Angga Raka Prabowo, Kepala Badan Komunikasi Pemerintah yang baru dilantik. Ia datang pada momen ketika etika komunikasi pemerintah sedang diuji. Publik tidak lagi mudah diyakinkan oleh retorika; mereka menuntut kejujuran, transparansi, dan empati.
Komunikasi yang Terserak: Dari Benturan Narasi ke Krisis Kepercayaan
Komunikasi pemerintah kita kerap bising: satu kementerian berkata A, lembaga lain berkata B, dan pejabat lain menyuarakan C. Dalam dunia yang serba cepat, perbedaan narasi itu bukan sekadar variasi, tetapi menimbulkan kebingungan publik.
Lebih dari itu, narasi yang tidak sinkron menggerus kepercayaan. Publik bertanya-tanya: siapa yang benar? Mana yang harus dipercaya? Dalam situasi ini, pemerintah berisiko dicurigai menyembunyikan kebenaran atau hanya menebar optimisme semu. Padahal, kepercayaan adalah aset paling berharga dalam komunikasi politik. Tanpa kepercayaan, bahkan data terbaik pun bisa dianggap manipulasi.
Tentang hal ini, kita perlu merujuk Hannah Arendt yang pernah menulis bahwa politik runtuh bukan karena perbedaan ideologi, melainkan karena hilangnya kepercayaan pada kata-kata. Ketika ucapan pemerintah dipandang sekadar retorika, maka legitimasi pun memudar.
Etika Komunikasi: Fondasi yang Terlupakan
Sering kali komunikasi pemerintah hanya dipahami sebagai manajemen pesan: bagaimana agar berita terlihat baik, bagaimana agar opini publik terkendali. Padahal, komunikasi yang sehat berakar pada etika. Tanpa etika, komunikasi hanyalah propaganda. Ada sekurang-kurangnya empat pilar etika komunikasi. Pertama, kejujuran. Filsuf Immanuel Kant telah mengingatkan bahwa berkata benar adalah kewajiban moral yang universal. Pemerintah tidak boleh hanya memilih kabar baik; ia juga wajib menyampaikan tantangan dan keterbatasan. Kedua, transparansi -- John Rawls sudah menekankan keadilan lahir dari akses setara pada informasi. Publik berhak tahu dasar klaim optimisme pemerintah, bukan sekadar mendengar slogan. Ketiga, empati. Apa yang ditegaskan Paulo Freire bahwa komunikasi sejati lahir dari dialog, maka empati berarti mendengar keluhan rakyat, mengakui rasa cemas, lalu meresponsnya dengan solusi. Keempat, Konsistensi. Hanna Arendt mengingatkan: bila kata dan tindakan berjarak, publik segera membaca kebohongan. Konsistensi adalah lem perekat antara narasi dan realitas. Keempat prinsip ini bukan sekadar teori. Ia adalah fondasi yang, bila dijalankan, mampu menjembatani jurang antara "Indonesia cerah" versi pejabat dan "Indonesia gelap" versi rakyat.
Angga Raka di Persimpangan Jalan
Sebagai Kepala Badan Komunikasi Pemerintah, Angga Raka menghadapi pilihan yang pasti tidak mudah: apakah melanjutkan pola komunikasi lama yang serba retoris, atau membuka babak baru komunikasi yang etis dan dialogis? Tugasnya tidak ringan. Ia harus menyatukan suara kementerian/lembaga agar narasi tidak saling bertabrakan. Maka, ia harus menyusun pesan yang realistis sekaligus inspiratif: mengakui masalah tanpa kehilangan arah harapan. Sebagai komunikator pemerintah, ia harus membangun sistem umpan balik publik sehingga suara rakyat benar-benar masuk ke meja pengambilan keputusan. Di era digital dimana kebenaran tidak lagi tunggal dan semua orang bisa menjadi insan digital maka komunikator pemerintah harus terus menguatkan literasi digital agar masyarakat tidak mudah terseret arus disinformasi di era post-truth.