Betapa beruntungnya, ketika saya berkesempatan berkorespondensi dengan beliau. Ia menceritakan salah satu kisah perjalanan menulisnya, hingga bukunya yang masuk buku Inpres pada akhir tahun 70an. Pada mulanya, ia belajar menulis pertama kali di Sekolah Sambungan Putra berasrama di Miei, Wondama, tahun 1958. Sekolah ini sambungan Sekolah Rakyat Kampung Tiga Tahun dan menerima murid-murid berusia paling kurang dua belas tahun dari berbagai daerah yang lulus ujian masuk.
Pelajaran menulis pun ia tingkatkan ketika kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Satya Wacana (UKSW) di Salatiga, Jawa Tengah, tahun 1970-an. Majalah Morning Star terbitan mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris UKSW menjadi salah satu sarana menulis baginya, selain Topchords, majalah musik pop terbitan Salatiga dari pertengahan tahun 1970-an hingga awal 1980-an.
Yanes, Penakut yang Menjadi Pemberani, karya saya diterbitkan BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1978. Dan oleh Departemen PDK Nasional di Jakarta, dicetak ulang sebanyak 500 ribu eksemplar dan masuk dalam penerbitan suatu proyek Instruksi Presiden (Inpres) serta disebarkan ke berbagai SD di Indonesia.”
Penelusuran bacaan ini melabuhkan saya dengan salah satu penulis buku bacaan anak dari Manokwari, yang cukup produktif. Yaitu Margried Pondajar. Ia menulis banyak buku bacaan anak bergambar yang bersumber dari cerita rakyat. Antara lain ada “Si Kembar Mui dan Miyepa,” “Kisah Burung Pipit dan Kasuari” juga “Putri Duyung dan Isaiyori,” sebuah dongeng klasik dari suku Arfak Hattam.
Harapan Kita.
Riset Indeks Aktivitas Literasi Membaca di Indonesia yang dilakukan Kemdikbud pada tahun 2019, menyatakan bahwa Papua dan Papua Barat menjadi dua daerah yang menghuni peringkat terbaik dari bawah, dari 34 kabupaten di Indonesia.
Ini berarti, banyak sekali pekerjaan berat yang kita hadapi pada isu literasi di Papua. Buku – buku dapat menjadi sebuah pintu masuk, media dialog, perjumpaan, perkenalan dan pertukaran ide banyak orang tentang Papua.
Tetapi ini dapat dicapai melalui buku bacaan anak yang akurat secara budaya, beragam tema, dan ditulis oleh para penulis-penulis yang paham tentang Papua. Hal ini akan ikut membantu menampilkan Papua dengan lebih tepat hingga dapat diapresiasi oleh semua orang dan terjalin hubungan dengan pembaca dari daerah lain di Indonesia.
Besar harapan dengan demikian, akan tercipta rasa saling mendukung perkembangan literasi kontekstual dan kearifan lokal daerah masing – masing. Itu sudah.