Mohon tunggu...
Dawami SabriZein
Dawami SabriZein Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Student, Historical Science, Airlangga University

indo-arab guy, interest with historical studies, culture studies, mid-east culture, movie enthusiast, love exercise (gym and chalistenics)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Dinamika Kehidupan Masyarakat Arab-Hadhrami di Ethiopia

15 April 2021   10:39 Diperbarui: 15 April 2021   10:50 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hadramaut merupakan wilayah pegunungan yang gersang, sampai jauh pada abad ke-20. Perang antar suku, perseteruan keluarga, perampokan, dan berbagai kejahatan lainnya menjadikan wilayah tersebut bukanlah wilayah yang aman. Kondisi diperparah dengan kondisi tanah yang tandus, serta mata air yang terbatas membuat mereka mulai mencari wilayah yang lebih menjanjikan dan wilayah yang menjamin keamanan mereka. beberapa dari mereka mulai memutuskan untuk bermigrasi ke wilayah yang lebih menjanjikan, sedangkan lainnya hanya berfokus untuk berdagang di wilayah lain namun tidak menetap disana. Terpisah dengan Laut Merah dan Teluk Aden, Benua Afrika merupakan benua yang berbatasan dengan wilayah Asia bagian barat. Kawasan tersebut meliputi wilayah Mesir, Sudan, dan kawasan sisi Afrika bagian timur yang dikenal dengan sebutan Tanduk Afrika "Horn of Africa" meliputi: Djibouti, Sudan Somalia, dan Ethiopia

Melihat letak geografis kedua daratan yang berdekatan dan juga strategis, menyebabkan interaksi kedua daratan sudah terbentuk sejak lama. Interaksi yang terbentuk antar kedua daratan akhirnya memunculkan percampuran sosial, budaya,dan agama kepercayaan. Dimulai dari masa pra- islam, tepatnya ketika Zaman Solomon (Kaisar Sulaiman A.S.) dimana orang-orang Beta Israel di Eithiopia berkembang. Orang-orang Beta Israel ini berasal dari Mesir dan missionaris Yahudi dari Yaman yang bermigrasi ke Eithiopia. Interaksi kedua wilayah mulai semakin intens ketika perkembangan agama Islam, dimana bermunculan pedagang-pedagang dari Arab-Hadramaut di berbagai wilayah Horn of Africa (Afrika Timur) , khusus di Ethiopia yang juga melanjutkan hubungan nenek moyang mereka ke wilayah tersebut. kehadiran ulama-ulama dari Hadramaut di wilayah tersebut juga semakin lama semakin besar dan menjadikan wilayah tersebut sebagai sarana proses Islamisasi.

  • Orang-orang Arab di Eithiopia pada masa pra-Islam hingga Masa Islam.

 Masyarakat Hadhrami mengenal sistem kelas sosial sebagai salah satu bentuk budaya mereka. kelas sosial yang dianut ini bersifat kaku dan berdasarkan garis keturunan. Golongan paling atas diduduki oleh Sayyid. Golongan ini mengaku sebagai keturunan nabi besar mereka, Muhammad SAW melalui cucunya, Husein. Leluhur mereka, Ahmad bin Isa merupakan imigran Irak yang berpindah ke Hadhramaut. Golongan ini berfungsi sebagai pemuka agama dan bangsawan agama di Hadhramaut. Golongan kedua terdapat kelompok yaitu Syeikh dan Qabili. Mereka merupakan keturunan Qahtan, leluhur semua Arab Selatan. Golongan Syeikh merupakan keturunan bangsawan agama asli Hadhramaut, elite agama Hadhramaut. Namun karena jumlah mereka sedikit menyebabkan mereka kalah dengan pamor dengan golongan Sayyid. Golongan Qabili merupakan anggota yang terdiri dari suku-suku di Hadhramaut yang menempati masing-masing wilayah dan mempertahankan wilayah tersebut hingga titik darah penghabisan. Untuk golongan Syeikh, diperkiran jumlah mereka yang sedikit ini karena mereka lebih sering berpegian ke luar wilayahnya untuk menyebarkan agama Islam. 

 Migrasi yang dilakukan orang-orang Hadhrami ke wilayah Afrika Timur terbagi menjadi tiga fase. Fase pertama ketika dari masa pra-islam hingga masa awal islam. Pada fase ini mereka telah menyatu dengan penduduk lokal dan klaim tentang orang Hadhrami yang dianggap sama sebagai orang-orang Arab pada umumnya. Pada abad ke-7 tepat pada tahun 615 Masehi islam pertama kali masuk ke Eithiopia. Dahulu Eithiopia ini dikenal orang-orang Arab sebagai negeri Habasyah. Rombongan imigran Arab yang dipimpin oleh sepupu Nabi Muhammad SAW, Ja'far bin Abi Thalib, bermigrasi ke wilayah Habasyah, tepatnya ke Kerajaan Aksum agar terhindar dari perlakuan diskriminatif orang-orang Quraisy Mekkah. Mereka diterima baik oleh Raja Najasy. Pihak kerajaan memperlakukan mereka dengan baik dan melindungi hak-hak mereka. lambat laun Raja Najasy sendiri akhirnya memeluk agama Islam.

 Terdapat cerita dibalik masuknya Raja Najasy ke dalam agama Islam. ketika orang-orang Quraisy Mekkah mengetahui bahwa Ja'far beserta rombongannya diizinkan untuk tinggal di Aksum, mereka mengirim utusan ke wilayah Aksum untuk memulangkan Ja'far dan rombongannya dibawa utusan Amru bin Ash dan Abdullah bin Rabiah dengan membawa hadiah sebagai imbalan jika mengembalikan para buronan tersebut. hadiah yang akan diberikan ke raja dan pasukannya berupa hadiah yang terbuat dari kulit  halus.

Ketika sampai di Aksum, utusan Quraisy Mekkah ini memohon kepada Raja Najasy agar mengembalikan mereka ke Arab. mereka mengatakan bahwa Ja'far dan rombongannya merupakan buronan yang mengikuti ajaran sesat. Karenanya Raja Najasy memutuskan untuk melakukan audiensi antar keduanya. Ja'far bin Abi Thalib menjadi juru bicara untuk mereka dan mengatakan kepada Raja Najasy bahwa mereka merupakan korban penganiayaan orang-orang Quraisy. Ia juga menjelaskan kepada Raja Najasy keadaan hidup mereka sebelum Islam, misi kenabian Muhammad, dan ajaran Muhammad yang diajarkan ke mereka. Setelah menjelaskan panjang-lebar, Raja Najasy bertanya tentang bukti ajaran tuhan yang dibawa oleh seorang Muhammad. Ja'far kemudian membacakan surat dalam Alquran (QS Maryam). Setelah mendengarkan lantunan tersebut, Raja Najasy memutuskan untuk masuk Islam dan tidak akan menyerahkan Ja'far bin Abi Thalib beserta rombongannya ke utusan Arab.

 Pada Masa Dinasti Ummayyah, dimana wilayah dinasti ini juga meliputi wilayah Yaman, termasuk Hadhramaut, tepat pada abad ke-12 seluruh pantai di Eritrea telah diislamkan. Sejak saat itu orang-orang Hadhrami mulai banyak singgah di kota-kota pelabuhan dan mulai bergabung ke dalam kerajaan-kerajaan Islam yang seperti Kesultanan Showa, Kesultanan Ifat, dan Kesultanan Adal. Fase inilah yang dikenal sebagai fase kedua migrasi orang-orang Hadhrami ke Tanduk Afrika (Horn of Africa). Interaksi antar kerajaan-kerajaan di Eithiopia ini sangat erat dengan orang-orang Yaman, Hadhramaut terbukti sangat kuat. Apalagi ketika masa akhir Kesultanan Ifat ketika raja terakhir, Sa'ad ad-Din II terbunuh, anaknya, Sabr ad-Din II melarikan diri ke Yaman pada tahun 1410. Setelah awal abad ke-15 Masehi, Sabr ad-Din II memindahkan pusat kekuasaan ke Kota Dakar setelah menjadi penerus Raja dari Kesultanan Adal setelah pulang dari Yaman. 

  • Dinamika Masyarakat Hadhrami pada abad ke-19 hingga ke-20   

 Fase terakhir migrasi orang-orang Hadhramaut ke Horn of Africa (Afrika Timur) terjadi pada abad ke-19 hingga abad ke-20. Fase ini juga menjadi puncak migrasi orang-orang Hadhramaut di wilayah Afrika Timur dikarenakan pada masa tersebut orang-orang Hadhrami ingin terhindar dari kemiskinan akibat adanya perang saudara dan politik lokal. terbangunnya jalur kereta Djibouti-Addis Ababa juga menjadi faktor pesatnya migrasi mereka ke Ethiopia. Para imigran memanfaatkan hubungan nenek moyang mereka dengan orang-orang Ethiopia selama berabad-abad. Mereka berhasil berintegrasi dengan penduduk lokal dikarenakan mereka telah berperan penting dalam ekonomi perdagangan. Mereka juga mendapatkan perlindungan hukum dari negara setempat. Para imigran Hadhramaut yang hanya terdiri dari laki-laki ini memiliki bisnis, rumah, dan tanah sendiri selama puluhan tahun. Beberapa dari mereka juga memutuskan untuk kembali ke Hadhramaut setelah beberapa tahun menetap di Ethiopia. Namun, beberapa dari mereka memutuskan untuk menetap lebih lama di Ethiopia. Mereka memutuskan untuk menikahi perempuan-perempuan lokal Ethiopia sebagai istri pertama ataupun kedua. Beberapa dari mereka yang datang ke Ethiopia bahkan ada yang tidak mengatasnamakan diri sebagai orang Hadhrami. Mereka lebih mengakui mengatasnamakan diri sebagai utusan Britania Raya, utusan dari Kesultanan Qu'aiti.

 Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, orang-orang Hadhramaut yang datang ke pusat kota Ethiopia, Addis Ababa, tidak terikat oleh kebijakan sistem formal setempat. Mereka datang melalui pelabuhan Massawa dan Zeila dan bebas melakukan mobilisasi Yaman-Ethiopia dan sebaliknya. Namun pada tahun 1913 Kaisar Menelik II selaku penguasa Ethiopia memberikan ultimatum kepada orang-orang Asing, termasuk orang-orang Hadhrami untuk mendaftarkan diri ke kedutaan masing-masing. Mereka yang tidak memiliki kedutaan diminta untuk mendaftarakan diri sebagai warga negara Ethiopia dalam waktu tiga bulan. Mereka yang gagal atau tidak mendaftarkan diri sama sekali diminta untuk kembali ke negara asalnya. Karena pada saat itu daerah Hadhramaut menjadi koloni Inggris, maka mereka mendaftarkan diri mereka sebagai utusan Britania Raya. Sejak berlakunya kebijakannya ini akhirnya orang-orang Hadhrami menjadi tidak bebas dan terikat oleh sistem hukum yang berlaku. Mobilisasi mereka semakin dibatasi dan yang tidak memenuhi syarat akan dikembalikan ke negara asalnya. 

  Sejak peraturan ini berlaku, tercatat imigran Hadhrami pertama yang telah terdaftar dan memiliki paspor yang berlaku ialah Syeikh Sa'id Ahmad Ba Za'ra. Ia mendapatkan izin untuk masuk Addis Ababa pada pertengahan abad ke-20 karena ia sendiri merupakan seorang saudagar kaya yang mempunyai bisnis di Addis Ababa. Paspor tersebut berlaku untuk setahun. Ia juga menjadi orang Hadhrami terkaya di Addis Ababa dan keluarga ini menjadi tetua komunitas Yaman-Hadhramaut di Addis Ababa.

 Pada masa menjelang ekspansi Italia ke Ethiopia, beberapa orang-orang Hadhramaut memutuskan untuk kembali ke negara asal mereka karena takut terdampak efek dari peperangan yang terjadi antara Kerajaan Ethiopia dengan pasukan Italia. Pada malam kedudukan Italia di Ethiopia, Sayid B. Muhammad Hakim kembali ke Ethiopia dengan mendapatkan izin masuk gratis ke kota tersebut yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. anak laki-lakinya juga kembali ke Addis Ababa dengan mengatasnamakan dirinya sebagai warga Qu'aiti. Sejak saat itu segala peraturan di Ethiopia berkembang menjadi peraturan kolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun