Mohon tunggu...
David Pratama
David Pratama Mohon Tunggu... Koki - siap grak

tukang tidur, tukang ngopi, tukang nyantai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menikah itu Ber-217an

30 Agustus 2016   23:28 Diperbarui: 31 Agustus 2016   00:50 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berlari sendirian itu jauh lebih bebas daripada berlari dengan bergandengan tangan. Pada saat berlari sendirian kita bisa menentukan arah tujuan dan ritme dengan bebas. Kapan kita mempercepat langkah, memperlambat langkah, ataupun berhenti, kita sendirilah yang menentukannya. Tapi bagaimana kalau kita berlari dengan bergandengan tangan? Susah! 

Kita harus menyesuaikan langkah dengan rekan seperjalanan. Ketika masih ingin berlari tapi pasangan kita sudah lelah, maka kitapun mau tidak mau juga harus berhenti. Demikian pula saat sudah lelah, tetapi pasangan kita masih bersemangat lari ya kita harus menyesuaikan dengan langkahnya. Kalau tidak dapat menyelaraskan langkah, bisa jadi salah satu atau semuanya akan terjatuh.

Pernikahan pun juga demikian. Menikah harus dapat ber-217an (berdua satu tujuan). Ketika menikah, kita sudah tidak lagi sendirian tetapi bergandengan. Kita tidak lagi bisa semua gue, tetapi harus bisa menyelaraskan langkah dengan pasangan kita.

Masa remaja adalah masa yang penuh dengan gairah, pengenalan diri, pengenalan lingkungan, dan tak jarang muncul pemberontakan karena emosi yang masih labil. Jikalau mereka merasakan jatuh cinta, itu hanyalah luapan rasa emosi semata yang tidak diimbangi dengan logika. Orang bilang cinta monyet. 

Sangat berbahaya jika pernikahan hanya didasari dengan cinta sebagai modal utama tanpa adanya logika dan pemikiran ke depan. Secara psikologis, usia remaja bukanlah usia yang ideal untuk menikah. Mereka (remaja yang menikah di usia dini) sebenarnya masih ingin berlari sendirian. Mereka masih ingin bebas menentukan langkah ke mana mereka berlari. Mereka belum siap untuk bergandengan tangan dan berlari bersama. Mereka belum siap untuk menjaga ritme agar tidak terjatuh.

Menikah itu mudah. Tetapi membangun rumah tangga itulah yang tidak mudah. Menikah itu hanya cukup dengan mengajak orang tua dan saksi bersama-sama di depan penghulu (KUA) atau pemuka agama dan Catatan Sipil, sudah sah secara hukum dan agama. Tapi bagaimana kelanjutannya? Inilah yang belum dipahami oleh banyak keluarga dalam mendampingi anak-anaknya. Banyak keluarga yang bangga ketika anaknya menikah di usia dini. Bagi orang Jawa yang berpikiran tradisional, semakin cepat nikah semakin  baik. 

Nikah di usia yang semakin muda, semakin baik adanya. Mereka beranggapan anak perempuan yang sudah menikah itu artinya sudah laku. Mereka takut anaknya menjadi perawan tua yang tidak lagi laku. Inilah pandangan yang harus diluruskan! Pernikahan bukanlah masalah laku atau tidak laku. Pernikahan adalah masalah masa depan, bukan hanya pasangan yang akan menikah saja tetapi juga keturunannya kelak.

Oleh karena itu BKKBN memiliki program untuk menyosialisasikan pernikah di usia yang ideal. Bagi perempuan setidaknya usia 20 tahun dan bagi laki-laki setidaknya 25 tahun. Pada usia inilah seseorang sudah mulai bisa berpikir akan masa depannya. Di masa inilah seseorang sudah beranggapan bahwa cinta itu bukan hanya masalah rasa dan emosi belaka tetapi juga dilandasi logika dalam menghadaoi realita. Di usia inilah seseorang sudah merasa siap untuk menggandeng ataupun digandeng tangannya dalam langkah bersama.

Jadi masih banggakah menikah di usia dini?

Facebook | Twitter

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun