Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Darkside" Kasus Brigadir J, Hilangnya Empati dan Tergiringnya Opini Publik

6 Agustus 2022   01:11 Diperbarui: 10 Agustus 2022   01:30 2008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapolri Jenderal Listyo Sigit (@listyosigitprabowo via Tribun)

Sekiranya Brigadir J melakukan kesalahan pun, apa tidak ada mekanisme etik? Apa tidak perlu dilaporkan ke atasan? Mengapa main hukum rimba? Apa karena memegang senjata apj lantas boleh digunakan mencabut nyawa seseorang? Senjata api digunakan oleh penjaga sifatnya lebih sebagai pertahanan ketimbang untuk menyerang.

Jengkel juga membaca berita belakangan ini. Saya memperhatikan banyak media yang judulnya bombastis namun isinya copy paste. Isinya seolah pesanan bahwa harus memberitakan itu-itu saja. Hanya berisi paparan konferensi polri yang tendensius menimpakan kesalahan pada J. Dan seakan mengatakan J layak mati. Hari-hari berikutnya pun sama. Media seakan isinya 'sampah'. Alias itu-itu saja. Hanya mengulang dan mengulang. Isinya spekulasi dan spekulasi. Pembaca yang berharap informasi baru pun tertipu. Taraaaa! 

Sebut saja media yang berinisial 'T'. Saya yakin anda tau apa itu T. Bagi saya, ini media paling menyebalkan.  Entah itu berita online ataupun cuplikan video di Youtube. Judul sama sekali tidak sesuai isi. Seolah ada isi padahal kosong. Parahhhh.

Para Youtuber juga sama saja. Banyak sekali Youtuber yang membuat konten tentang kasus ini. Bahkan ada yang sudah membuat lebih dari 50 seri podcast untuk membahas ini. Judul videonya tendensius pula. Mendadak seakan detektif. Seakan lebih pintar daripada penyidik. Supaya apa? Saya menduga ini tidak lain demi meraup cuan.

Banyak pihak yang ramai-ramai membuat spekulasi. Selain ini berbahaya pada pembentukan opini publik, ini juga menunjukkan hilangnya empati pada keluarga J, dan keluarga sang Jenderal bintang dua. Satu pihak seakan memastikan J lah 100% yang salah. Pihak yang lain mengatakan bukan J yang salah. Publik menjadi bingung.

Demi cuan dari views dan click pada berita maupun konten Youtube praduga tak bersalah dilanggar begitu saja. Seakan menggiring opini publik bahwa polri tidak profesional. Polri tidak transparan dalam penyidikan, dan seterusnya. Prinsip hukum bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum seakan tidak berlaku. Para pembuat konten seakan tidak peduli itu. Yang penting views nya ramai. Yang penting ratingnya tinggi. Parah!

Banyak hal penting luput, lalu siapkah pemirsa kecewa?

Banyak perhatian dan energi tersedot ke kasus ini. Semula media beramai-ramai 'mengeroyok Brigadir J' dan melabelinya sebagai pelaku kejahatan seolah layak dihabisi. Lalu sekarang, beramai-ramai pula seakan menyalahkan Polri, termasuk keluarga si Jenderal. Ada apa sebenarnya? Kenapa seperti tendensi mengobok-obok institusi Polri? Kasus lain yang tidak kalah penting seakan terlewatkan. Isu perang Rusia Ukraina seakan tidak dipedulikan lagi. Kasus TNI perintahkan tembak istri hilang dari sorotan. Mafia tanah yang menyusahkan rakyat seolah tak perlu dibahas. Naiknya harga pangan seakan tak penting. Kenaikan harga listrik dan BBM seolah tidak perlu? Kasus penyelewangan dana oleh ACT seakan tak penting dibicarakan.

Seringkali kasus semakin ruwet ketika dipergunjingkan di ruang publik. Misalnya kasus pelecehan seksual yang dituduhkan pada Julianto Eka Putra (JE) di Batu, Malang. Setelah ramai dibahas di podcast. Banyak pula Youtuber membuat konten yang tendensius menyalahkan JE sehingga publik tergiring memvonis JE lah si jahat. Eh, belakangan ada yang muncul dan bersaksi bahwa itu semua settingan demi mendongkel JE. Ini tentu membuat publik jadi bingung. Ini cerita yang benar yang mana sih? Apakah publik yang tadinya sudah menyalahkan JE siap kecewa jika nanti di pengadilan JE tidak terbukti bersalah? 

Sama dengan kasus ini. Apakah publik sudah siap kecewa, misalkan benar bahwa J itu bersalah? Bagaimana jika pelecehan itu benar terjadi? Bagaimana jika tidak bisa dibuktikan bahwa ada pihak lain selain E yang menjadi pembunuh sebagaimana opini publik? Bagaimana jika memang sang Jenderal tidak terbukti mengetahui hal ihwal kejadian tersebut?

Kebenaran akan selalu menang

Pengadilan bekerja tidak berdasarkan opini melainkan dengan sistem pembuktian. Tidak bisa menjatuhkan vonis dengan perasaan atau atas tekanan opini publik. Pihak keluarga J pasti tidak mau dikatakan J yang salah. J itu anak baik dan seterusnya. Mana ada kita yang mau anggota keluarga kita terbunuh dan disalahkan pula. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sebaliknya sama pihak pelaku akan sebisa mungkin menghindari dan membela diri. Para pengacara di kedua belah pihak akan mempertahankan klien masing-masing. Itulah peran pengacara. Kedua belah pihak punya argumen masing-masing. Namun, pada akhirnya hakim yang menentukan siapa yang bersalah berdasarkan bukti-bukti yang diberikan oleh jaksa penuntut. 

Jadi kita harus juga siap menerima apapun nanti hasil dari penyidikan kasus ini hingga inkrah di pengadilan. Nah, inilah pentingnya kita bersabar dan membiarkan proses penyidikan berjalan tuntas. Biarkan penyidik membuat terang perkara tersebut. Jadi ayolah kita dukung Polri bekerja sebaik-baiknya. Biarkan penyidik bekerja dengan leluasa. Biar mereka membuat terang perkara ini. Dan perlu diingat, penyidik bekerja untuk menyingkap kebenaran. Penyidik tidak perlu ditekan oleh opini pengacara atau opini publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun