Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Semudah Membalik Telapak Tangan, Masih Ngotot Ingin Pindah Kewarganegaraan?

13 Oktober 2020   06:20 Diperbarui: 13 Oktober 2020   20:07 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cuitan netizen yang mengatakan ingin pindah kewarganegaraan pasca polemik RUU Cipta Kerja sempat ramai dibahas. Beberapa media malah mengulas menjadi artikel tersendiri. Terkesan bahwa dengan pindah kewarganegaraan menjadi cara untuk lepas dari permasalahan dalam negeri. Namun kelihatannya cuitan ini cuman sekedar meramaikan suasana saja. Jangan-jangan yang mencuit malah belum pernah hidup di luar negeri. Hehe

Tulisan ini sekedar berbagi pendapat saja dari pengalaman pernah tinggal di luar negeri untuk sementara waktu dan pernah berkunjung ke beberapa negara. Kebanyakan orang yang berpengalaman hidup di luar negeri akan mengatakan bahwa fasilitas yang lebih lengkap dan lebih tertata membuat hidup disana lebih nyaman. Misalnya fasilitas transportasi di Singapura, fasilitas transportasi di Jepang. Fasilitas pendidikan yang lebih maju. Fasilitas kesehatan yang lebih lengkap, dan seterusnya.

Biaya hidup dan pajak penghasilan yang tinggi

Umumnya mereka mengungkapkan bahwa bekerja di luar negeri, penghasilan yang didapat lebih tinggi ketimbang bekerja di Indonesia. Ini benar adanya. Mengingat bahwa bayaran disana memang lebih besar. Namun jangan lupa bahwa biaya hidup di luar negeri juga tinggi. 

Misalnya untuk seporsi makanan, harganya 15 dollar. Jika dirupiahkan, bisa sakit kepala ya kan. Jika ingin membeli rumah pun, rasanya dengan menabung mati-matian pun tetap saja sulit terbeli. Harga properti umumnya sedemikian mahal. Bagi kita orang Indonesia, tidak elok rasanya untuk tinggal menyewa rumah atau apartemen selamanya. Pasti ada keinginan untuk memiliki rumah sendiri. 

Berbeda cerita jika tabungan yang disimpan bertahun-tahun tadi dibawa ke Indonesia, lalu dibelikan sebidang lahan atau rumah malah akan berlebih. Atau dijadikan modal untuk membuka usaha kecil-kecilan yang umumnya dilakukan TKI sekembalinya ke Indonesia.

Selain itu tarif pajak juga tinggi. Misalnya di Australia besarannya variatif mencapai hingga 19%, Singapura sebesar 22%, Jerman mencapai 45%, Belgia mencapai 50%, Denmark dan Austria mencapai 55%. Semakin tinggi penghasilan semakin besar pula pajaknya.

Tak mudah mendapat pekerjaan yang diimpikan

Seseorang yang memutuskan mengadu nasib di luar negeri, tentu berharap mendapatkan pekerjaan yang diidamkan. Pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajari dan dikuasai. Seorang lulusan teknik berharap mendapat pekerjaan sebagai engineer. Seorang lulusan ekonomi/manajemen berharap bekerja sebagai manajer, dan seterusnya.

Pekerja di perusahaan minyak di Qatar (albawaba.com)
Pekerja di perusahaan minyak di Qatar (albawaba.com)

Namun faktanya, memperoleh pekerjaan demikian tidaklah mudah. Pendatang tetap saja berada pada lapisan terakhir. Penduduk asli setempat tetap menjadi prioritas untuk pertama kali dipekerjakan, kecuali keahlian seseorang itu masih kurang. Adanya kekurangan ahli perminyakan di perusahaan minyak di Timur Tengah maka seseorang dengan keahlian tersebut akan mudah melamar. Atau jika keahlian sebagai peneliti atau dosen akan mudah diterima di universitas.

Sulitnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai ijazah membuat banyak orang terpaksa banting setir. Kerja apa saja yang penting dapat gaji untuk bertahan hidup. Sektor informal menjadi lahan yang terbuka lebar bagi pendatang. Misalnya cleaning service, kurir antar makanan (delivery), jasa cuci piring, jasa berkebun (memotong rumput), pelayan restoran, menjaga toko, penjaga keamanan, supir taksi, dan pekerjaan fisik lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun