Ini bisa jadi momentum terbaik untuk melihat kualitas para pendidik. Bagaimana kemampuan mereka beradaptasi dengan ke(tidak)laziman baru ini. Jangan-jangan guru-guru ini banyak juga yang tidak kompeten.
Lantas mau dibawa kemana PJJ ini? Adakah kualitas minimum yang disyaratkan?Â
Bisa juga diadakan pelatihan bagi para guru, bagaimana cara mengajar online yang menarik untuk siswa. Bagaimana membuat bahan ajar yang tidak membosankan. Bagaimana melakukan diskusi interaktif agar siswa tetap tertarik dan fokus. Bagaimana memberi tugas yang menarik dan tidak terkesan menyusahkan siswa?
Perlu juga dilakukan evaluasi pelaksanaan PJJ ini dari segi biaya. Bagaimana keseimbangan biaya uang sekolah dan biaya operasional sekolah. Bagi sekolah negeri, mungkin tidak terlalu pusing, karena biayanya ada dari Pemerintah.Â
Namun bagi sekolah swasta, ini situasi yang sungguh sulit mengatur keuangannya. Banyak yang kehilangan siswanya, karena orangtua tidak punya uang membayar uang sekolah. Padahal biaya operasional harus tetap dibayar.Â
Perlu ada perhatian khusus bagi sekolah swasta. Entah suntikan dana dari APBD atau APBN. Toh ada dana tambahan dalam APBN Perubahan, untuk sektor pendidikan.Â
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, punya dana yang cukup besar. Kemendikbud mendapat tambahan anggaran dua kali lipat. Anggaran semula Rp 36 triliun kini menjadi menjadi Rp 70,7 triliun. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Rp 980 miliar sehingga menjadi Rp 6,050 triliun.
Perlu ada upaya yang nyata untuk evaluasi dan perbaikan-perbaikan menyeluruh. Negara harus benar-benar hadir untuk menjamin hak pendidikan anak-anak Indonesia bisa terpenuhi seutuhnya sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.Â