Mohon tunggu...
Dee Daveenaar
Dee Daveenaar Mohon Tunggu... Administrasi - Digital Mom - Online Shop, Blogger, Financial Planner

Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama, dan kami sembah dengan berbagai cara, jauhkanlah kami dari sifat saling melecehkan. Amin.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Indonesia Defisit US$ 7 Miliar, Sri Mulyani Salahkan Pemilu dan Lebaran

21 Mei 2019   10:01 Diperbarui: 21 Mei 2019   10:13 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menteri Sri Mulyani langsung menyalahkan Pemilu dan Lebaran sebagai penyebab defisit transaksi berjalan saat ini. Defisit transaksi berjalan kuartal I 2019 ( Jan-April ) sebesar USD 7 miliar sementara khusus bulan April saja mencapai USD 2.5  miliar, ini  merupakan defisit terdalam yang pernah dialami Indonesia sejak zaman kemerdekaannya. Untuk kapasitasnya sebagai Menteri Keuangan dengan berbagai penghargaan internasional, statement seperti itu rasanya kurang tepat. She knows what lies beneath (saya yakin dia tahu pokok permasalahannya).

Defisit transaksi berjalan terjadi karena nilai dari barang atau jasa atau pendapatan investasi yang diimpor lebih besar dibandingkan nilai dari yang diekspor. Sebenarnya defisit yang terjadi di Indonesia sejak 2018  namun di 2019 adalah yang terdalam sejak Indonesia merdeka. Saat 2018 lalu, presiden Jokowi sudah mengingatkan para menterinya untuk membatasi impor mengingat defisit yang terjadi. 

Menariknya adalah tanggapan menteri ESDM Jonan ketika itu yang mengatakan siap melaksanakan pembatasan impor pada berbagai sektor energi kecuali Pertamina. "Untuk Pertamina, saya serahkan pada mereka sendiri," demikian katanya.

Defisit Migas

Maka terjadilah defisit terdalam di Indonesia dan tak perlu heran jika Pertamina adalah kontributor terbesarnya. Dalam perdebatan capres tanggal 17 Maret 2019 lalu, ketika Prabowo mengkritik impor minyak mentah dan hasil mentah yang melonjak di era kepemimpinan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo. 

"Karena kita juga dalam waktu dekat akan jadi net importer, kita akan impor 100% bahan bakar minyak kita," Prabowo menjelaskan kekhawatirannya. Keesokan harinya Nicke Widiyawati, Direktur Utama Pertamina membantah, ia menilai hal itu sebagai sesuatu yang mustahil. 

"Tidak mungkin. Kita kan sekarang aja produk kita 800 ribu barel per hari yang dari kilang." Selain itu, menurut Nicke, Pertamina juga akan membangun kilang dengan kapasitas 100 ribu barel per hari di Balikpapan, Kalimantan Timur. Pertamina juga akan membangun kilang-kilang lainnya sehingga 2026 kapasitas kilang akan menembus 2 juta barel per hari.

Sebuah bantahan yang jauh panggang dari api, lah kenyataannya defisit migas mencapai US$ 1,49 miliar atau setara Rp 21 triliun pada April 2019 ini. Wakil Menteri ESDM  Arccandra Tahar menjelaskan bahwa pada April ini melakukan impor BBM yang lebih untuk mengantisipasi kebutuhan Lebaran (arus mudik dan arus balik) dikarenakan akan banyak pemudik yang memilih moda trasportasi mobil pribadi akibat tarif pesawat yang mahal. 

Yang saya bingung adalah nilainya yang fantastis, jika angka segitu merupakan kebutuhan BBM/ bulan berarti dalam setahun angka impor BBM mencapai +/- Rp. 240 trilyun (?) Padahal dengan tingkat konsumsi sekitar 1 juta barel/ bulan dimana 800 ribu bisa dipasok dari dalam negeri, harusnya impor BBM sekitar 20 0 ribu barel/ bulan.

Lebih jauh lagi Arccandra menerangkan mengenai harga impor BBM yang naik. Ini tak lepas dari situasi memanas antara Amerika yang melarang negara-negara lain berhubungan dagang dengan Iran dan Iran tak kalah garang dengan menggertak nuklir di selat Hormuz. 

Hal ini  menimbulkan ketegangan mengingat 40% minyak dunia lewat teluk tersebut. Akibatnya membuat harga crude mulai bergerak naik. Kalau minyak mentah naik kearah 80 dolar perbarel saja maka Indonesia terpaksa menaikan harga bahan bakar dan menaikan tariff listrik. Ini memberatkan perekonomian rakyat setelah Pemerintah tidak ada kemampuan menurunkan tariff transportasi udara.

 

Defisit Non Migas

sumber: merdeka
sumber: merdeka

Sudah performance di sektor migas babak belur, ternyata di sektor non migas juga tampil menyedihkan. Berikut 10 top barang impor:

1. Mesin peralatan listrik US$ 1,65 miliar
2. Plastik dan barang dari plastik US$ 757,7 juta
3. Serealia US$ 293,7 juta
4. Pupuk US$ 194,5 juta
5. Bubur kayu US$ 136,7 juta
6. Gula dan kembang gula US$ 161,1 juta
7. Filamen buatan US$ 163,7 juta
8. Garam, belerang, kapur US$ 71,2 juta
9. Kapal laut dan bangunan terapung US$ 104,8 juta
10. Kendaraan bermotor atau komponen US$ 45,8 juta

Selain top 10 di atas, angka yang juga tinggi adalah barang-barang konsumsi semacam daging, apel dan peer, serta running shoes. Impor bulan April naik secara 24.12% (mtom). Kenaikan tertinggi juga terjadi dalam impor daging beku dari India dan AS.

Jika melihat angka-angka di atas, ternyata pernyataan Sri Mulyani tidak salah. Persiapan Lebaran baik impor di sektor migas dan non migas jadi biang kerok defisit transaksi berjalan bulan April. Tapi bagaimana dengan kenaikan defisit sebelum bulan April? Apa penyebabnya?

Mampukah Menangani Defisit?

Jika defisit dibiayai melalui pinjaman maka dapat dikatakan itu lebih buruk lagi. Karena dengan melakukan pinjaman akan menyebabkan unsustainable pada jangka panjang dan Negara tersebut dapat terjebak dalam pembayaran bunga hutang yang tinggi. Negara dengan pembayaran bunga hutang yang tinggi hanya menyisakan sedikit saja anggaran yang digunakan untuk investasi atau pembangunan.

Beberapa upaya yang dilakukan seperti pemberlakuan B-20 ( BBM dicampur 20% minyak kelapa sawit ) kelihatannya tidak dilaksanakan dengan konsisten. Seandainya Pertamina melaksanakan dengan konsisten, paling tidak bisa menurunkan 20% angka impor.

Pengenaan tarif masuk atas sejumlah barang harusnya lebih dicermati, semisal dengan masuknya secara besar-besaran baja dari China tidak dikenakan tarif, padahal China melakukan dumping. C'mon bu Sri, moso kita sebagai pengutang tak bisa mengatur sedikit saja Negara pemberi utang. Kita akan bayar bunga dan bayar pokok lho.

Kabar baiknya....

Kabar baik dari negara-negara tetangga, hanya Indonesia yang terpuruk di kawasan ASEAN dengan nilai defisit transaksi berjalan  kuartal I 2019 sebesar US$7 miliar. Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Singapura semuanya mengalami surplus transaksi berjalan berturut-turut yaitu US$2,6 miliar, US$6 miliar, US$1,7 miliar, dan US$17,6 miliar.

Dahlan Iskan mencatat;  ekspor Vietnam naik 28 persen. Investasi yang masuk naik hampir 10 persen. Sudah lebih satu minggu saya di Vietnam. Dari satu daerah ke daerah lain. Sudah enam daerah saya jelajah. Secara umum, Vietnam masih jauh ketinggalan dari kita. Masih seperti Indonesia di tahun 1990-an. Tapi berubahannya memang sangat cepat.

doc pribadi saat jadi volunter school feeding WFP di Kamboja
doc pribadi saat jadi volunter school feeding WFP di Kamboja

doc pribadi: anak kamboja disupport makanan di sekolah (World Food Program)
doc pribadi: anak kamboja disupport makanan di sekolah (World Food Program)

Kamboja juga tumbuh sangat cepat. Meski keadaannya masih seperti Indonesia tahun 1980-an. Saya alami jalan-jalan di Phnom Pehn sangat padat. Mobil-mobil umumnya relatif baru. Tidak terlihat mobil jelek apalagi reot. Kelas mobilnya juga menengah ke atas.

Saya tidak melihat satu pun mobil kelas Avansa atau Xenia. Kelihatannya paling rendah cc 1500. Begitu dominan Lexus di Phnom Penh.

Dulu Vietnam belajar budidaya kopi dari Indonesia, sekarang mereka jadi produsen kopi nomor 2 dunia. Saya memiliki keyakinan jika mereka bisa,  seharusnya kita bisa. Kuncinya turunkan impor naikkan ekspor.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun