Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

JNE di Tengah Polarisasi Politik di Tanah Air

14 Desember 2020   14:47 Diperbarui: 14 Desember 2020   14:59 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tagar yang menyerukan boikot JNE marak di media sosial twitter. Seruan itu muncul setelah akun twitter perusahaan @JNE_ID mengunggah ucapan selamat ulang tahun ke-30 dari Haikal pada 4 Desember 2020. Para penyeru boikot  menyebut perusahaan JNE mendukung Haikal Hassan, juru bicara Persaudaraan Alumni 212 atau PA 212. 

Bukan rahasia lagi bahwa kemunculan gerakan 212 adalah imbas dari gesekan politik di Pilkada DKI 2017 yang begitu keras. Kerasnya gesekan politik di DKI disebabkan karena penggunaan isu identitas sebagai alat untuk perebutan kekuasaan kursi Gubernur di DKI Jakarta. Bagi para pendukungnya kemunculan gerakan 212 dalam pilkada DKI dianggap sebagai politik kebangkitan Islam. Sebaliknya, pihak lain melihat itu sebagai kemunduran berpolitik karena menggunakan agama yang seharusnya suci sebagai alat untuk berebut kekuasaan politik.

Gesekan politik yang menggunakan isu agama ternyata tidak berhenti pada pilkda DKI 2017. Penggunaan isu agama dalam politik terus terjadi hingga pilpres 2019. Meskipun kandidat presiden di pilpres sama-sama muslim, tak menghentikan para petualan politik untuk terus menggunakan agama sebagai alat bagi perebutan kekuasaan. Capres Jokowi, waktu itu, dikampanyekan di berbagai media sosial dan pesan di whatsapp (WA) sebagai pendukung komunis (PKI/Partai Komunis Indonesia). 

Konflik antara PKI dan partai Islam pun kembali diangkat. Bahkan peristiwa Madiun di 1948 kembali dibawa-bawa untuk membenarkan kampanye mereka. Meskipun bila kita membaca sejarah ternyata komunis dan Islam tidak selalu bermusuhan sepanjang sejarah. Tapi bagi sebuah kampanye yang menggunakan politik labeling, kebenaran sejarah tidak penting. Kenapa? Hal itu disebabkan karena politik labeling bukan bertujuan untuk mencari sebuah kebenaran, mealainkan membunuh karakter dari target sasarannya. 

Dalam konteks kampanye pilpres 2019, tuduhan terhadap Capres Jokowi (saat itu) sebagai pendukung komunis sudah jelas tak terbukti, baik secara historis maupun rekam jejak kebijakan politik-ekonominya di periode pertama. Anehnya, begitu tuduhan komunis itu tak terbukti, tuduhannya bergeser bahwa Jokowi adalah pendukung kapitalisme neoliberal. Jika kita membaca sedikit buku saja tentang ideologi komunis dan kapitalisme, kita akan mengetahui bahwa dua ideologi itu seperti minyak dan air, tak mungkin menyatu. Apalagi menyatu di satu sosok, yaitu Jokowi. Kenapa itu bisa terjadi? Kembali kepada tujuan dari politik labeling seperti tersebut di atas, bahwa tujuan dari politik labeling tidak untuk mencari kebenaran tapi membunuh karakter target sasaran.

Kembali ke seruan boikot JNE. Apakah benar JNE mendukung gerakan 212 hanya karena menampilkan video ucapan selamat ulang tahun #jne30tahun dari Haikal Hassan? Hampir dapat dipastikan tidak. Kenapa demikian? Iya, karena dalam waktu yang hampir bersamaan #jne juga mengunggah ucapan selamat ultah ke-30 dari Ahok, sosok yang menjadi target sasaran politik dari gerakan 212 di pilkada DKI Jakarta. Para top management JNE tentu tidak bodoh dengan memberikan dukungan pada satu pihak di tengah polarisasi politik setelah pilkada DKI dan pilpres 2019. 

Sebaliknya, pesan yang muncul dengan adanya ucapan selamat ultah dari Haikal Hassan dan Ahok pada ultah JNE ke-30 adalah bahwa perusahaan ini ingin #connectinghappiness, menghubungkan dengan berbagi kebahagian bukan permusuhan akibat polarisasi berdasarkan politik labeling yang merendahkan akal sehat. Nampaknya, di usianya ke-30 JNE justru ingin memberi pesan kebersamaan antar sesama bangsa.  

Kebersamaan antar sesama anak bangsa itu bukan sekedar kata-kata pemanis bagi JNE. Terbukti, perusahaan itu rutin menyantuni anak-anak yati di berbagai panti asuhan. Membangun kebersamaan antara perusahaan dan masyarakat, khususnya yang rentan ini justru harus menjadi contoh perusahaan lainnya. Untuk itulah tepat rasanya tagar yang dipilih JNE dalam ultahnya yang ke-30 ini, #30tahunbahagiabersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun