Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akankah LSM Kolaps di Era Pandemi Covid-19?

16 Oktober 2020   09:50 Diperbarui: 16 Oktober 2020   10:05 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semua sektor nampaknya terkena dampak dari pandemi Covid-19. Sektor pemerintah dan bisnis sudah jelas terkena dampak dari pandemi ini. Ternyata bukan hanya sektor pemerintah dan bisnis yang terdampak Covid-19, namun juga NGOs (Non Goverment Organizations) atau di Indonesia sering disebut LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).


Pandemi Covid-19 nampaknya juga memaksa semua pihak mengubah cara kerjanya. Semua sektor mengubah cara kerjanya dari bekerja di kantor menjadi bekerja dari rumah, tak terkecuali LSM. Namun, perubahan cara kerja ini jika berlangsung lama justru akan menjadi salah satu sebab LSM kolaps. Kenapa demikian?


Aktivis LSM adalah pekerja sosial di lapangan. Mereka harus sering bersentuhan kulit dengan masyarakat yang menjadi penerima manfaat program-progamnnya. Mereka harus ikut merasakan apa yang sedang dirasakan masayarakat yang menjadi dampingannya. Pekerjaan di belakang meja adalah sekedar mendokumentasikan fakta dan pengalaman di lapangan.


Namun, di era pandemi Covid-19 ini tiba-tiba mereka harus bekerja dari rumah. Mereka harus menjaga jarak dengan penerima manfaat dari kerja-kerjanya. Jika kemudian aktivis LSM lebih banyak bekerja di rumah, apakah keberadaan mereka masih relevan?


Beberapa aktivis LSM mencoba menyiasati hal ini dengan menggelar berbagai diskusi-diskusi online, membuat konten-konten kampanye secara online di media sosial dan membangun berbagai aplikasi pemantauan kebijakan secara online. Singkatnya, para aktivis telah bertransformasi menjadi online activism.


Apakah improvisasi aktivis di era pandemi ini akan bertahan lama? Rasanya tidak. Diskusi-diskusi online apapun temanya yang digelar oleh aktivis LSM akan terasa hambar bila mereka mendiskusikannya tanpa pernah lagi bersentuhan kulit dengan masyarkaat. Konten-konten protes dan kampanye yang bertebaran di media sosial akan terasa kering, tak berjiwa, bila itu didapatkannya hanya dari oleh pemikiran di dalam rumah, tanpa olah rasa di lapangan.


Di era pandemi ini relevansi LSM sedang dipertanyakan. Masihkah keberadaannya relevan ketika para aktivisnya bekerja sambil rebahan di rumah, sementara penderitaan orang-orang miskin masih terus terjadi di sekitarnya? Relevansi posisi LSM ini jika tidak dijawab dengan tepat akan menjadikan sektor ini benar-benar kehilangan relevansi dengan persoalan di masyarakat yang menjadi penerima manfaatnya.


Relevansi LSM yang berpotensi memudar di era pandemi adalah salah satu hal yang menyebabkan sektor ini kolaps. Sebab berikutnya adalah soal kemandirian pendanaan. Ketidakmandirian pendanaan di LSM di Indonesia adalah sebuah penyakit akut yang menjangkiti sektor ini cukup lama.

Bukan rahasia lagi, sebagian besar LSM di Indonesia menggantungkan pendanaan kegiatan programnya dari lembaga donor internasional. Sebagian LSM Indonesia memang sudah melakukan kegiatan fundraising untuk melepas ketergantungan dari lembaga donor internasional. Namun, komposisi pendanaan dari lembaga donor internasional masih cukup dominan.


Persoalannya, pandemi Covid-19 ini tidak hanya melanda Indonesia. Hampir seluruh dunia mengalami pandemi Covid-19 ini. Dampaknya pun sama, krisis ekonomi karena aktivitas ekonomi tiba-tiba dibekukan dengan berbagai pembatasan, dari lockdown hingga PSBB. Negara tempat lembaga-lembaga donor berasal pun mengalami kesulitan yang sama. Menjadi wajar bila kemudian lembaga-lembaga donor itu mengalihkan pendanaannya, yang semula untuk LSM di Indonesia, untuk membiayai berbagai program sosial di negaranya sendiri.


Kalaupun lembaga-lembaga donor itu tidak mengalihkan pendanaannya dari Indonesia, mereka akan lebih memprioritaskan untuk mendanai program-program LSM yang terkait dengan isu kesehatan terkait Covid-19. Di Indonesia, jumlah LSM dan organisasi masyarakat yang resmi tercatat di Kementerian Dalam Negeri sekitar 65.000 organisasi. Pertanyaannya, angka itu berapa persen yang fokus kerjanya terkait dengan isu kesehatan?

Untuk persoalan ini pun beberapa LSM menyiasatinya dengan mengaitkan isu yang dikerjakannya dengan Covid-19. Apapun isunya harus dikait-kaitkan dengan pandemi ini. Beberapa LSM berhasil menemukan kaitannya, tapi banyak diantaranya terkesan dipaksakan.


Sebagian besar LSM, kalau tidak boleh dikatakan semua, menghadapi masa-masa sulit saat ini. Di satu sisi relevansinya dipertanyakan di era pandemi, di sisi lainnya pendanaannya juga makin menipis. Lantas, apa yang harus dilakukan para aktivis LSM?   

Menelan pil pahit. Mungkin itu adalah hal pertama yang harus dilakukan oleh para aktivis LSM. Pil pahit itu ibarat obat ketika kita sedang sakit. Apa saja pil pahit itu? Pertama, LSM di era pandemi harus mengencangkan ikat pinggangnya. Biaya operasional kantor harus mulai ditinjau ulang. Mana yang benar-benar relevan mana yang hanya buang-buang uang.


Kedua, seraya berhemat, LSM harus mulai mencari sumber pendanaan lain di luar donor. Kemandirian pendanaan tidak bisa lagi dijadikan wacana, namun sudah harus dimulai saat ini juga. Asset LSM berupa pengetahuan yang selama ini hanya berakhir di buku-buku dan ruang-ruang seminar harus mulai dikapitalisasi sebagai sumber pendanaan alternatif.  


Ketiga, bekerja dari rumah harus mulai dibatasi. Aktivis, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, harus mulai kembali berada di lapangan. Mereka harus kembali berada di tengah-tengah masyarakat untuk merasakan sendiri persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Perubahan sosial tidak bisa dilakukan hanya dengan rebahan dan diskusi di ruang-ruang virtual, apalagi hanya mengumbar komentar di media sosial.
Bagaimanapun juga LSM masih dibutuhkan di negeri ini untuk menyeimbangkan kekuatan pemerintah dan bisnis. Untuk itulah LSM harus tetap hidup meskipun harus meminum pil pahit. Hari-hari ini sungguh merupakan waktu yang sulit bagi LSM Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun