Untuk persoalan ini pun beberapa LSM menyiasatinya dengan mengaitkan isu yang dikerjakannya dengan Covid-19. Apapun isunya harus dikait-kaitkan dengan pandemi ini. Beberapa LSM berhasil menemukan kaitannya, tapi banyak diantaranya terkesan dipaksakan.
Sebagian besar LSM, kalau tidak boleh dikatakan semua, menghadapi masa-masa sulit saat ini. Di satu sisi relevansinya dipertanyakan di era pandemi, di sisi lainnya pendanaannya juga makin menipis. Lantas, apa yang harus dilakukan para aktivis LSM? Â Â
Menelan pil pahit. Mungkin itu adalah hal pertama yang harus dilakukan oleh para aktivis LSM. Pil pahit itu ibarat obat ketika kita sedang sakit. Apa saja pil pahit itu? Pertama, LSM di era pandemi harus mengencangkan ikat pinggangnya. Biaya operasional kantor harus mulai ditinjau ulang. Mana yang benar-benar relevan mana yang hanya buang-buang uang.
Kedua, seraya berhemat, LSM harus mulai mencari sumber pendanaan lain di luar donor. Kemandirian pendanaan tidak bisa lagi dijadikan wacana, namun sudah harus dimulai saat ini juga. Asset LSM berupa pengetahuan yang selama ini hanya berakhir di buku-buku dan ruang-ruang seminar harus mulai dikapitalisasi sebagai sumber pendanaan alternatif. Â
Ketiga, bekerja dari rumah harus mulai dibatasi. Aktivis, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, harus mulai kembali berada di lapangan. Mereka harus kembali berada di tengah-tengah masyarakat untuk merasakan sendiri persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Perubahan sosial tidak bisa dilakukan hanya dengan rebahan dan diskusi di ruang-ruang virtual, apalagi hanya mengumbar komentar di media sosial.
Bagaimanapun juga LSM masih dibutuhkan di negeri ini untuk menyeimbangkan kekuatan pemerintah dan bisnis. Untuk itulah LSM harus tetap hidup meskipun harus meminum pil pahit. Hari-hari ini sungguh merupakan waktu yang sulit bagi LSM Indonesia.