Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Cerdas Membaca Media Massa di Masa Pandemi

11 Mei 2020   11:43 Diperbarui: 11 Mei 2020   11:55 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pandemi Covid-19 kini mulai berdampak pada ekonomi. Dampak pertama mulai hilangnya barang-barang seperti hand sanitizer, masker dan bahan makanan di awal-awal pandemi. Kini, dampak itu berkembang pada hilangnya beberapa pekerjaan karena kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). 

PSBB yang semula untuk mencegah penularan virus Covid-19 kini justru berpotensi menambah jumlah angka kemiskinan. Semakin alam PSBB semakin besar pula angka kemiskinan yang akan bertambah. 

Pertanyaan selanjutnya tentu saja adalah sampai kapan PSBB ini terus dilakukan? Jawaban normatifnya tentu saja sampai kurva orang-orang yang terjangkit Covid-19 mengalami penurunan. 

Kalau itu jawabannya berarti tidak ada kepastian sampai kapan PSBB ini akan terus 'membunuh' aktivitas ekonomi rakyat. Padahal data statistik yang dikeluarkan Gugus Tugas penanggulangan Covid-19 sebenarnya telah menunjukan adanya peningkatan jumlah orang yang sembuh jauh melampaui mereka yang meninggal dunia. 

Jadi sebenarnya, sudah waktunya PSBB secara bertahap sudah harus dilonggarkan untuk pada akhirnya dicabut. Toh, berapa ratus ribu pun bahkan juta orang yang terinfeksi Covid-19, bila pada akhirnya lebih banyak yang sembuh mengapa perlu ditakutkan?

Ketakutan. Itu mungkin satu kata yang menjadi kunci dari lamanya PSBB yang pada akhirnya berdampak pada kegiatan ekonomi dan menambah jumlah warga miskin di Indonesia. 

Nah, salah satu pihak yang seringkali memelihara rasa takut publik terhadap wabah Covid-19 itu adalah media massa. Entah sampai kapan media massa memelihara ketakutan publik ini? Apakah ketakutan di publik sengaja dipelihara sampai vaksin siap dipasarkan? Jika demikian pertanyaannya kemudian adalah media massa masih tetap menjadi pilar demokrasi ke-4 atau telah menjadi pilar dari industri, dalam hal ini industri vaksin? Entahlah..

Sambil menunggu jawaban yang pasti atas pertanyaan tersebut di atas, saya akan membagikan pengalaman dalam membaca beberapa media massa yang memberitakan persoalan Covid-19 ini. 

Dari pengalaman saya tersebut, kesimpulan awalnya adalah beberapa media massa begitu semangatnya  memelihara ketakutan publik terhadap Covid-19, hingga rela menginjak-injak kaidah-kaidah jurnalistik. Kaidah-kaidah jurnalistik yang sering diinjak-injak itu adalah membedakan fakta dan opini.

Membedakan fakta dan opini adalah kompetensi dasar seorang jurnalis. Pantang bagi jurnalis profesional mencampur-adukan keduanya, terlebih pada judul berita. Namun, perlombaan untuk memelihara rasa takut publik terhadap Covid 19, kompetensi dasar itu mulai diabaikan.

Di sebuah media online ternama pada pertengahan April 2020 misalnya menuliskan berita dengan judul, 'Masyarakat Mulai Panik, Pemerintah Dinilai Gagap Tangani Corona'. Setelah dibaca hingga tuntas isi berita itu tidak sama sekali menggambarkan kepanikan masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun