Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Membongkar Narasi Para Pembela Sawit

17 September 2019   13:43 Diperbarui: 17 September 2019   15:05 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di saat Kalimantan dan Sumatera dilanda kabut asap, di media sosial muncul kampanye #SawitBaik. Ini bukan sebuah kebetulan, tapi memang sudah direncanakan dari awal.

Di Riau, menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), seperti ditulis di portal berita ini, bahwa  laporan dari Bupati Pelalawan menyebutkan  80 persen wilayah kebakaran hutan dan lahan selalu berubah menjadi lahan perkebunan sawit atau tanaman industri lainnya. Laporan itu diperkuat dengan tindakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyegel  28 perusahaan sawit. Lihat beritanya di sini.

Jadi para pembela sawit yang mengkampanyekan #SawitBaik, nampaknya sudah menduga bahwa kebakaran lahan yang melenda Kalimantan dan Sumatera melibatkan perusahaan sawit. Sehingga tak heran mereka melakukan kampanye seperti itu. Meskipun terkesan tidak manusiawi. berkampanye membela sawit di tengah jutaan orang sesak nafas, namun karena untuk membela sawit, apapun akan dilakukan juga. 

Bahkan dalam kampanyenya, para pembela sawit tak segan-segan menggunakan narasi ekonomi dan nasionalisme untuk melawan narasi ekologis yang disampaikan para penggiat lingkungan hidup. 

Narasi ekonomi dibangun untuk menggambarkan bahwa produksi perkebunan sawit yang beroperasi di hutan dan lahan gambut adalah penyumbang devisa negara. Jutaan orang pun diklaim bergantung hidupnya dari perkebunan sawit yang beroperasi di hutan dan lahan gambut. Kampanye penyelamatan lingkungan hidup dengan narasi ekologi pun dituding tidak peduli terhadap jutaan orang yang hidupnya tergantung pada perkebunan sawit tersebut.

Dari narasi ekonomi itulah, para pembela sawit, kemudian menggorengnya lagi menjadi narasi nasionalisme. Narasi nasionalisme dibangun atas dalih hasil perkebunan sawit itu merupakan penghasil devisa, sehingga kampanye penyelamatan lingkungan hidup dengan narasi ekologi, tak lebih adalah upaya untuk menghancurkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Aktor-aktor yang mengkampanyekan penyelamatan lingkungan hidup pun dituding sebagai antek asing.

Narasi ekonomi yang berkembang menjadi narasi nasionalisme pun berujung pada penciptaan label  negatif sebagai antek asing terhadap pembawa pesan kampanye perubahan iklim. Narasi nasionalisme ini digunakan  untuk 'membunuh' pembawa pesan (kill the messenger).

Dengan labeling terhadap pihak-pihak yang mengkampanyekan penyelamatan lingkungan hidup sebagai antek asing, maka semua narasi ekologi tentang lingkungan hidup menjadi tidak relevan. 

Pertanyaan berikutnya tepatkan narasi ekonomi dan nasionalisme itu digunakan untuk melawan narasi ekologi dalam penyelamatan lingkungan hidup? 

Untuk menggugat narasi nasionalisme, terlebih dahulu kita perlu memeriksa dalih bahwa perkebunan sawit yang berada di hutan dan lahan gambut itu menguntungkan Indonesia secara ekonomi. 

Mungkin benar bahwa secara total hasil dari perkebunan itu menyumbang devisa. Namun pertanyaannya siapa sejatinya yang menikmati hasil perkebunan skala besar di hutan dan lahan gambut itu?

Sebuah penelitian Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia mengungkapkan bahwa 25 grup usaha kelapa sawit juga telah mengontrol 3,1 juta hektare lahan kebun kelapa sawit di Indonesia. Sementara, 62 persen lahan kelapa sawit yang dikendalikan 25 grup bisnis tersebut berada di Kalimantan. Apa ini artinya? Artinya, segala kepentingan ekonomi dalam perkebunan yang diklaim sebagai kepentingan nasional itu sejatinya adalah kepentingan 25 group bisnis itu. 

Berapa kekayaan segelintir orang kaya penguasa jutaan hektar lahan sawit itu? Masih menurut penelitian TUK Indonesia, total kekayaan 29 pemilik modal di 25 group perusahaan sawit itu, diperkirakan US$69,1 miliar. Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) 2012, sebesar US$878 miliar,  jelas para taipan ini mengontrol kekayaan begitu besar. Kala dibandingkan dengan APBN Indonesia 2014, sebesar Rp1.800 triliun, kekayaan segelintir orang ini setara 45% APBN! (Berita mengenai penelitian TUK Indonesia, dapat dilihat di sini)

Fakta ini jelas membuat klaim narasi nasionalisme dengan sendirinya gugur. Justru klaim nasionalisme yang digunakan untuk melawan penyelamatan lingkungan sejatinya adalah topeng untuk menyembunyikan kepentingan 25 group bisnis yang mengendalikan jutaan hektar lahan sawit itu. Ketidakadilan penguasaan lahan ini justru akan menjadi bom waktu bagi eksistensi nasional.

Jadi kalau para pembela sawit, mengatakan menyelamatkan sawit adalah menyelamatkan ekonomi nasional, itu keliru. Menyelamatkan sawit ya menyematkan ekonomi dari 29 orang super kaya, pemilik modal di 25 group bisnis sawit. Nah, masih yakin dengan #SawitBaik? Kalau aku sih kagak ya...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun