Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Isu Daur Ulang, Pelecehkan Kalimat Tauhid

24 Oktober 2018   10:39 Diperbarui: 24 Oktober 2018   12:27 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang Pilpres 2019, kita kembali dihebohkan dengan kasus dugaan pelecehan kalimat tauhid. Meskipun dalam keterangannya, GP ANSOR menegaskan bendera yang dibakar itu bukanlah bendera tauhid, melainkan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Publik pun heboh. Beberapa ormas yang mengklaim sebagai ormas Islam ramai membuat pernyataan menyesalkan pembakaran bendera tersebut. Beberapa pihak selain meminta pembakarnya diproses hukum juga mendesak untuk meminta maaf.

Jika kita telisik ke belakang, ternyata kasus serupa pernah terjadi di tahun 2014. Karikatur yang dituduh melecehkan Islam itu pernah dimuat di Jakarta post. Karikatur itu menggambarkan bendera mirip ISIS yang dibawahnya ada gambar tengkorak. Sebagian orang yang mengencam karikatur itu menilai The Jakarta Post telah melecehkan kalimat tauhid. Bagaimana tanggapan The Jakarta Post. Seperti ditulis kompas.com, Menurut The Jakarta Post, karikatur tersebut sebenarnya bertujuan mengkritik penggunaan simbol agama dalam tindak kekerasan secara umum, terutama terkait keberadaan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Hampir mirip dengan alasan yang diungkapkan oleh GP ANSOR.

Pertanyaan berikutnya adalah apa kaitannya isu itu dengan pilpres? Marilah kita lihat bagaimana isu itu digiring. Dalam kasus karikatur ISIS di Jakarta Post, sebuah media online SALAM-ONLINE.COM, dalam salah satu artikelnya pada 7 Juli 2014, dalam terasnya menggiring opini untuk mengaitkan karikatur itu dengan Jokowi-Kalla.  The Jakarta Post, Media cetak yang terang-terangan menyatakan dukungannya pada Capres-Cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla, secara mengejutkan telah melecehkan kalimat Allah dan Nabi Muhammad yang dijadikan sebagai bagian dari lambang tengkorak kematian (skull), demikian dilansir spektanews.com, Senin (7/7), begitu media online itu menuliskan. 

Lantas bagaimana dengan opini yang dibangun dalam menyikapi insiden pembakaran bendera HTI saat ini? 

Seperti ditulis detik.com, "Jangan-jangan orang-orang yang bakar-bakar tulisan tauhid itu, jangan-jangan disuruh untuk bikin kita marah, dan dia adu domba," ujar Prabowo. Prabowo menduga aksi pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid itu dilakukan karena kelompok tersebut telah mengetahui akan ada perubahan besar dan perbaikan jika dia terpilih pada Pilpres 2019 kelak. Ketum Partai Gerindra itu pun meminta para pendukung dan santri yang hadir tak terprovokasi dengan aksi tersebut.

Semua kejadian dipolitisir jelang pilpres, baik pilpres 2014 maupun 2019. Emosi umat Islam selalu diaduk-aduk jelang pilpres. Padahal pilpres adalah mekanisme yang biasa dalam demokrasi. Sebagai umat beragama yang hidup di negeri yang beragam seperti Indonesia harusnya kita makin cerdas dalam berpolitik. Jangan mau kita diperalat oleh elite politik untuk kepentingan mereka berkuasa. 

Sebenarnya, sebelum memperalat isu agama untuk kepentingan politik, Indonesia pernah punya pengalaman dengan elite politik yang menggunakan isu komunis untuk berkuasa. Bahkan daur ulang isu komunis itu hingga kini masih terjadi,utamanya setiap menjelang bulan September. 

Di saat emosi kita diaduk-aduk elite politik dengan isu agama dan komunis itulah, kita lupa bahwa sumber-sumber ekonomi telah dikuasai segelintir orang super kaya yang merupakan bagian dari mereka atau justru mereka sendiri. Ayo kita, sebagai pembayar pajak, cerdas!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun