Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Misteri] Soup of Love

27 November 2011   04:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:09 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

.

Perempuan itu terus menggenggam jemari layu dan airmatanya tumpah deras berpacu. Nafasnya tersedak-sedak kesedihan yang terus mendesak-desak dari kedalaman. Udara menderu haru dari dada, merenggut kata yang dengan susah-payah ia coba ungkapkan. Hanya lirih…”Jangan pergi….”

Hujan menggaris tebal sejak senja. Butiran airnya gemuruh di atap rumah. Lelaki itu memandang dengan mata yang berlinang sama basah. Atap kayu lapuk dan tumpukan kertas kardus bekas diinjak-injak hujan dan suaranya berderak-derak. Air menerobos tumpukan yang tak rapat dan jatuh melalui lubang di beberapa titik. Jatuh menggenang di lantai yang juga kertas kardus, membasahi lapisan kain lapuk bekas spanduk dan menitik di piring kaleng tanpa isi dengan sendok plastik.

Lelaki itu, yang terbaring di sudut gubuk beralas kepala buntalan baju bekas, sama gemuruh tangisnya. Ia memandang perempuan yang dulu pernah ia janjikan bahagia. Yang dulu ia jumpai seindah bidadari dan ia berjanji dalam hatinya tuk memberi dunia seindah surgawi. Kini matanya cekung dan pipi yang kurus dimakan hari. Rambutnya yang dulu hitam legam indah memanjang, kini memutih suram disiksa masa. Kulitnya yang dulu langsat kini kering jelaga. Bidadari itu telah menjelma duka. Kurus menggigil diterkam udara dingin yang masuk membawa beku.

Perempuan itu mendekap gendongan kain lusuh rapat ke dadanya. Mencoba memberikan sisa-sisa hangat kepada tubuh kecil, pipi mungil dan jari-jari yang sudah mulai biru membeku…buah hati mereka. Mencoba menghangatkan dengan hatinya, bahwa mereka akan menjaganya. Bahwa cinta mereka kepadanya tak akan bisa dikalahkan oleh kerasnya derita kehidupan. Ya, meski memang hanya cinta yang kini bisa mereka beri kepada mulut mungil ini. Sejak penggusuran pasar beberapa bulan lalu, lelaki itu kehilangan pekerjaannya sebagai kuli angkut belanjaan. Satu-satunya pekerjaan yang ia bisa lakukan. Ia tak lagi bisa membawa pulang makanan. Hanya air sungai yang dimasak matang dengan kayu lapuk yang terbakar menjadi arang. Dan di musim hujan yang berbulan-bulan membekukan begini, entah dengan apa nanti mereka akan bertahan? Sesungguhnya ia benar-benar tak melihat harapan dengan cara apa mereka akan mampu bertahan hidup? Sesungguhnya ia ragu bagaimana mereka akan selamat dari musim yang membekukan ini? Udara akan semakin beku. Apakah mereka akan mati membiru? Ia sungguh tak tahu. Sampai lelaki itu membisikkan sesuatu……

Lelaki itu menangis semakin gemuruh ketika hujan membawa guruh. Ia tahu musim akan semakin beku. Dan ia menyalahkan dirinya untuk semua penderitaan yang harus ditelan oleh perempuan itu dan buah hatinya. Semuanya karena kegagalannya, ketidakmampuannya dan kelemahan hatinya! Tak ada yang lain lagi yang bisa ia beri……..

“Maafkan aku,perempuanku. Hanya ini yang bisa aku beri. Engkau tahu betapa aku tak pernah ingin meninggalkanmu. Jika puteri kita sudah bisa memahami nanti, sampaikanlah kepadanya bahwa aku ayahnya sangat mencintainya. Melebihi kecintaanku kepada diriku sendiri. Bahwa ia selalu bisa merasakan kehadiranku dan cintaku kepada kalian, pada setiap degub jantungnya dan jantung kalian…dalam setiap desir darahnya dan darah kalian……. “

Hujan masih turun sepanjang tigapuluh pagi. Butiran airnya menggaris tebal dan udara beku. Pepohonan telah melepaskan dedaunan dan bersiap tidur panjang dengan ranting-rantingnya yang telanjang. Angin membawa dingin yang membekukan sungai dan gubuk-gubuk kertas kardus di sepanjang bantarannya.

Perempuan itu mengaduk perlahan dan uap menghangatkan diam. Sedikit ia tiup-tiup dari ujung sendok untuk mendinginkan, sebelum ia dekatkan ke mulut mungil di gendongan. Bidadari kecil yang pipinya memerah hangat pada setiap kali suapan. Yang kedua matanya berkilauan kejora dan jari-jemari kecilnya balerina setiap kali sendok plastik menuangkan sup hangat ke dalam mulutnya.

Perempuan itu menghirup sesendok sup panas sambil memejamkan matanya. Merasakan kehangatan yang menyentuh lidah dan kemudian menyebar mengaliri sekujur tubuhnya. Kehangatan yang bisa ia rasakan berasal dari cinta……kehangatan dari sup yang penuh cinta di dalamnya…..kehangatan yang pada setiap suapnya ia bisa rasakan wangi lelakinya.....

.

..

Terinspirasi oleh berita aktual dari negeri seberang dengan kisah yang berbeda.. di sini.

.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun