Mohon tunggu...
Pidato Semprul 17an Janu
Pidato Semprul 17an Janu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

memunguti remah-remah pengembaraan...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Suluk Sampan (1)

19 November 2009   13:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:16 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku ingin mengajakmu mengarungi perjalanan hati. Jika engkau bersedia, maka bukalah hatimu dan mari bersamaku. Jika tidak, maka tinggalkanlah aku menjalani ini sendiri. Tulisan ini barulah setitik dari sebuah kisah perjalanan panjang pengembaraan ruhani. Tidak perlu tergesa. Karena alangkah jauh jarak antara mengetahui dengan mengerti. Dan alangkah jauh jarak antara mengerti dengan memahami. Dan lebih jauh lagi jarak antara memahami dengan...memiliki. Akal bukanlah segalanya di sini, karena sangat terbatas kekuatannya tuk memahami. Hanya kerendahan hati yang bisa melintasi.... ..... Kegelisahan tak lagi dapat ditahan. Sampan kecil yang tertambat terangguk-angguk di ujung jembatan bambu sungai ini merindukan jawaban. Ia pun menarik-narik tali tambatnya seirama arus yang memecah kaki-kaki jembatan bambu. Tak ada lagi yang bisa menahannya untuk pergi. Pergi jauh mengembara. Mencari kedamaian hati, yang tak pernah ia jumpai sejak terciptanya. Beberapa kali ia menarik ulur, simpul pun mengendur. Dan dalam kesekian kali sentakan, ikatannya terlepas. ia bebas !!.. Hatinya bersorak, ia menggoyang-goyang badannya yang kecil menjauhi jembatan. Terburu-buru menyambut arus sungai, seakan tak mau lagi dikejar dan diikat kembali ke kehidupannya selama ini yang tak pernah ia pahami. Arus sungai pun menyambutnya meriah, menciprat-cipratkankan airnya seakan ucapan selamat datang..."selamat datang, wahai hati yang mencari..." Dan sampan kecil terus mengarus mengikuti kemana sungai membawanya. Hatinya begitu gembira tapi sekaligus penuh tanya. Kemana ia akan pergi? ke laut mana ia akan bertemu? Dalam resah pengembaraannya, ia bertanya kepada sungai yang membawanya, "Apakah kita akan lebih bahagia jika kita mengetahui masa depan kita?..." Sungai menjawab dengan keluasan kedalamannya, "Kebahagiaan, sesungguhnyalah telah menyertai rahmat Gusti Allah atas hidup kita ini. Tidaklah tertinggal di masa kanak ataupun kelampauan.Tidak juga hilang di tengah perjalanan menuju kedewasaan, hingga kekinian kita. Pun tidak pula terpisah jauh menghadang di masa tua ataupun keakanan kelak. Hanya saja, ia bersemayam di relung hati. Menukiklah pada kedalaman syukur, akurkan pikiran dan perasaan dalam tafakur. Lalu rasakan bahwa senantiasa ia (=kharisma ghaib atas puja-puji yang menjelmakan ketenangan dan kedamaian hati) yang dibahasakan sebagai bahagia itu, menyertai setiap tarikan nafas kita. Tak kekurangan sesuatu apa dan hanya itu yang dirasa, pun yang sesungguhnya bernamakan bahagia dalam makna sesungguhnya. Manifestasi surga yang dijanjikan Gusti Allah pada seluruh umatNya, telah bisa dirasakan kebenarannya begitu manusia mensyukuri nikmat berada dekat denganNya! Kuncinya: mengenali jati diri yang sejati! Karena hanya bila manusia telah mengenal jati dirinya yang sejati, karunia nikmat batin bernamakan bahagia (rahmat karunia asali, hakiki, abadi atas ridhloNya) yang tiada putus-putusnya itulah pencapaian hakekat. Syahadat paska ucapan! Si hamba bersaksi akan Tuhannya, dan Tuhan sendiri berkenan mengakui dan bersaksi akan hambaNya. 'Wruhanira, Sejatining Sun, Allah Pangeranira,.. tan sejatinira utusan Ingsun!'..." ... Kemis Legi, 1 Besar 1942 Jé (19 November 2009)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun