Mohon tunggu...
Deni I. Dahlan
Deni I. Dahlan Mohon Tunggu... Penulis - WNI

Warga Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Skenario Salah" yang Mungkin Terjadi Jika Vaksin Tak Ada

15 Desember 2020   00:16 Diperbarui: 15 Desember 2020   04:22 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Labirin.Sumber Ilustrasi: Pixabay

"Libur telah tiba. Libur telah tiba. Hore, hore, hore!"

 Itu penggalan lagu waktu kecil dulu. Maaf, hehe.

Karena tahun 2020 sudah banyak liburnya akibat terjadi wabah, maka liriknya bisa diganti dengan "Vaksin telah tiba. Vaksin telah tiba. Hore, hore, hore!"

Vaksin ibarat payung. Meski hujan belum reda, tapi memakainya bisa membuat tubuh menjadi lebih terlindungi. Jadi dengan adanya vaksin, sepantasnya tidak terlalu takut kena wabah.

Sebaliknya, jika vaksin tidak ada, maka banyak orang akan semakin takut terkena wabah. Dan itu tidak hanya berhenti disitu saja. Kekhawatiran itu akan merembet ke berbagai hal lainnya.

Demi mengurangi risiko terkena wabah, maka mungkin banyak orang memilih tinggal di dalam rumah. Tinggal di rumah itu ada enaknya. Tidak harus jajan karena bisa masak sendiri. Tidak perlu beli bensin sehingga lebih hemat. Apalagi di rumah sudah ada berbagai hiburan.

Menonton TV, medsos lewat hape, dan aktivitas berkebun bisa menghibur hati. Semua tampak baik sampai beberapa bulan lamanya. Orang -- orang mulai jenuh dengan kegiatan yang itu -- itu saja. Mereka ingin keluar. Tapi karena ada wabah, keluarnya jadi tidak bisa jauh -- jauh.

Virtual Life
Sebelum wabah terjadi, orang -- orang sering traveling ke berbagai tempat wisata. Bermain air di laut, menjelajah hutan rimbun, atau menantang nyali untuk mendaki gunung.

Bahkan tidak sedikit orang yang plesiran ke luar negeri. Cari baju di Paris atau sekadar hunting foto di Tokyo. Mereka biasanya bepergian saat akhir pekan. Karena hari Senin sampai Jumat, pekerjaan menunggu di kantor untuk segera diselesaikan.

Namun karena terjadi wabah, banyak kantor diliburkan. Kantor pemerintah, swasta dan perusahaan ditutup sementara untuk meminimalisir penyebaran wabah. Awalnya, perusahaan memberi cuti kepada karyawannya. Namun wabah masih berlangsung, dan semakin memperpanjang masa cuti mereka.

Sedangkan perusahaan tetap membutuhkan biaya operasional. Demi efisiensi, mereka terpaksa merumahkan sebagian pekerja. Ada yang masih bekerja tapi bekerjanya dari rumah. Beberapa yang lain harus melatih kesabaran lewat PHK.

Wabah telah menggeser tempat bekerja dari kantor pindah ke rumah. Termasuk lembaga pendidikan seperti universitas dan sekolah.

Kegiatan belajar di sekolah diganti menjadi belajar di rumah. Guru mengajar dari rumah. Siswa belajar dari rumah. Awalnya, anak -- anak senang dengan itu. Mereka bisa mengerjakan tugas lebih sedikit dan bermain lebih banyak. Orangtua pun mengurangi uang jajan mereka.

Namun, tidak belajar di sekolah diganti dengan pembelajaran jarak jauh yang masih beradaptasi. Banyak orangtua kurang terbiasa menggunakannya. Mereka belajar lagi dari awal, sementara anak -- anak lebih sering bermain dengan dunianya sendiri.

Karena belajarnya di rumah, banyak anak begadang saat malam hari. Alasannya besok tidak perlu bangun pagi untuk ke sekolah. Mereka menghabiskan waktunya untuk menonton TV dan bermain game. Aktivitas itu yang dilakukan selama di rumah saja.

Sementara mau liburan tidak bisa. Berkumpul dengan teman -- teman di warung kopi tidak bisa. Yang bisa dilakukan hanya video call dengan mereka. Jalan -- jalan juga hanya bisa secara virtual. Belanja pun online. Dunia kini hanya sebatas layar. Menatap layar terus -- terusan selama di rumah membuat orang -- orang bosan.

Bosan Melanda
Rasa bosan yang terus datang membuat otak tertekan. Tekanan tidak hanya datang dari dunia yang belum sembuh dari wabah. Tapi juga datang dari dalam diri.

Hidup terasa sempit. Apa -- apa serba terbatas. Mau begini tidak bisa. Mau begitu tidak bisa. Gairah hidup tinggal sedikit. Bahkan ada yang sudah tak peduli akan hidup dan mati. Keputusasaan menghinggapi orang -- orang.

Orang -- orang yang kekurangan harapan menjadi hidup enggan, mati pun tak eman. Banyak orang tampak hidup namun aslinya sudah mati.

Wabah telah merusak semuanya. Semua yang tampak dihancurkan oleh yang tak tampak. Pasrah dan menyerah itu tidak enak, tapi hanya itulah sisa pilihan. Sambil terus menjalani hidup yang tidak pasti, banyak orang mulai bertanya, "Kapan vaksin tiba?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun