Mohon tunggu...
Daud Farma
Daud Farma Mohon Tunggu... Penulis - Pribadi

Pemenang Pertama Anugerah Sastra VOI RRI 2019 Khusus Siaran Luar Negeri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Panti Asuhan ke Dayah Perbatasan

26 Oktober 2020   05:58 Diperbarui: 26 Oktober 2020   05:59 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 "Silakan diisi ya, Nak." kata beliau sambil tersenyum. Aku mengangguk. Lalu kutulis biodata lengkapku dan yang lainnya. Sementara ayah dan ibuku berbincang-bincang dengan Ustadz Taqwa, aku hanya yakin saja bahwa beliau adalah ustadz dengan nama Taqwa. Sebutan ustadz sudah tak asing di telingaku, aku juga punya ustadz di desaku, aku mengaji setiap sore sampai magrib tiba.

"Anak kami ini sedikit bandel, Pak Ustadz. Besar harapan kami pada, Pak Ustadz untuk menerima dan mendidiknya. Semoga ia menjadi anak yang berilmu dan anak yang saleh. Kami serahkan sepenuhnya kepada, Pak Ustadz untuk mendidiknya." kata ibuku, aku hanya menunduk dan diam seribu bahasa sambil mengisi formulir pendaftaran. Dan kali ini giliran ayahku yang bicara. "Kalau nanti ia nakal, pukul saja!, Pak Ustadz, agar ia tidak nakal lagi. Dia sepenuhnya kami serahkan ke, Pak Ustadz. Kalau ia minta pulang jangan diizinkan sebelum hari libur dan kalau memang ia rindu, ia bisa telepon kami, ini nomor handphone kami. Kalau ia kelewatan nakal, tolong kabari kami biar kami tambahi pukulannya!" kata ayahku, aku tak gentar sedikit pun. Toh aku selama ini sering dipukul ibu. Tapi ketika aku menatap wajah Pak Ustadz Taqwa, aku agak merinding. Bertubuh kekar dan dengan gaya rambut belah duanya itu, sepertinya beliau akan membelah tubuhku kalau aku nakal. Itulah kata terakhir ketika penyerahan diriku masuk Pesantren yang diucapkan oleh ayah dan ibuku. Begitu selesai mereka berbincang, aku sudah selesai mengisi formulir. Ayah dan ibu pamit, dan aku disuruh ayah menyalami tangan ustadz Taqwa. Kuraih tangan ustadz Taqwa dan kucium seperti kumenyalami kedua orangtuaku. Beliau tersenyum menatapku, aku juga tak habis pikir bahwa orang yang berbadan kekar bermuka agak sangar ini punya hati yang begitu menawan, membagi senyum ke siapa saja, wajah sangarnya sirna ketika ia tersenyum. Duhai kawan, andai saja kau tahu bahwa senyum itu adalah sedekah.

"Barang-barangnya silakan langsung dibawa ke bawah, Pak. Kampus Putra ada di bawah sana." kata ustadz Taqwa menjelaskan.

"Terima kasih, Pak Ustadz." sahut ayah dan ibuku hampir bersamaan, lalu kami pun bergegas masuk ke dalam becak. Becak yang kami naiki perlahan menuruni jalan batako. Aku belum pernah bicara sepatah kata pun sejak aku naik becak dari depan rumahku tadi. Becak itu berjalan lambat menuruni jalan batako, jalannya mulus, jalannya turunan, mungkin tanpa dihidupkan mesin pun bisa sampai ke bawah sana. Entah aku juga tidak tahu sejauh apa? Kulihat kiri-kananku banyak kaum hawa yang sedang berlalu-lalang di pinggir jalan batako itu. Tak satu pun kutemukan kaum adam kecuali ustadz Taqwa tadi. Semakin ke bawah, kulihat bangunan Asrama Putri dan di sana ada gedung dua tingkat, banyak tanaman bunga yang berdaun hijau dan merah, ada pohon mangga yang sedang berbuah lebat, pohon kelapa yang tingginya dua meter dan rumput lapangannya yang hijau memukau. Kulihat kaum hawa yang semakin banyak dan berjuta warna baju yang mereka kenakan, mereka bak jemuran yang sedang berjalan, warna-warni itu membuat pemandangan tadi semakin indah.

 Becak terus menelusuri jalan batako, dan kali ini lebih dahsyat lagi turunannya. Bambkhu-ku harus menekan rem becaknya berkali-kali, kalau tidak bisa celaka, menurun! Mulai lah kulihat kaum adam yang kocar-kacir di lapangan. Ada yang sedang bermain Volli, Bola Kaki, Bulu Tangkis dan ada beberapa orang yang sedang membahui ember yang di dalamnya pakaian, sepertinya mereka menuju ke kamar mandi, nyuci. Ada yang melamun dipinggir parit, ada yang sedang memegang buku sambil berjalan, membuka buku di depan asrama, ada yang menumpuk di pinggir pintu, ada yang kejar-kejaran di lapangan semen, ada yang coba-coba menangkap belalang tapi tak dapat, dan lain sebagainya.

 Pemandangan di kawasan kaum adam ini lebih dinamik dibandingkan kawasan kaum hawa tadi. Becak yang kami naiki berhenti di lingkaran kecil itu. Ayah dan ibu turun. Ayah melepaskan ikatan peti yang nongkrong di atas atap becak, peti tempat pakaianku. Beliau turunkan dari atap becak. Aku belum turun, aku masih melihat ke sekeliling. Lalu kulihat pintu bangunan yang di depanku. Di atas pintu itu ada papan triplek yang tertulis dengan cat warna ungu, kubaca, "Bagian Pengasuhan Santri". Seorang pria berbadan yang agak gemuk sedikit berewokan keluar dari ruangan dan menyalami ayahku, Bambkhu dan juga diriku. Ayahku memanggilnya pak ustadz, tentu beliau jugalah ustadz pikirku. Beliau menuntun kami masuk ke dalam ruangan, ya aku menyebutnya ruangan karena begitu luas, bisa menampung puluhan orang.

"Ini kamarnya Habib, Pak." kata pak ustadz kepada ayahku. Ternyata beliau mudah mengingat namaku setelah kukenalkan tadinya kepada beliau sambil menyalamiku dan menanyakan namaku. Aku baru tahu, ternyata ruagan yang kami masuki ini adalah kamar santri. Aku tak habis pikir bahwa ini adalah kamar. Sebab kamarku tidaklah seluas ini, kalau saja kamarku seluas ini tentu aku akan bermain bola di dalamnya! Ruangannya berjendela kaca, cat dindingnya belum luntur, warna putih yang cerah. Di tepi-tepi dindingnya lemari-lemari yang berjejer rapi, kamar itu dihiasi dengan kaligrafi, kasur-kasur ditumpuk agak tinggi, aku memerhatikan calon kamarku itu penuh senyum bahagia, hatiku berteriak, "YES!". Ayah meletakkan peti pakaianku di pojok kamar. Aku mulai menata pakaianku dan dibantu ibu. Kulihat sekeliling kamar, semuanya punya lemari baru dan aku punya peti baru yang dibuatkan ayahku, pahlawanku.

 Ayah menunggu di becak bersama Bambkhu, sementara diriku dan ibu masih duduk di dalam kamar. Kuperhatikan wajah ibuku, matanya basah meneteskan air yang jernih. Kali ini beliau menasihatiku. "Bib, belajar yang rajin ya, Nak. Jangan nakal, bertemanlah dengan baik, jangan berkelahi, patuhi disiplin, taat sama guru dan rajin mengulang pelajaranmu." Aku hanya mengangguk, ibu memelukku. Aku tersenyum bahagia, ibuku sedih, aku balas dengan senyum manisku, aku memang manis loh. Aku bahagia dengan suasana baruku, teman baru, kamar luas yang baru, guru baru dan kampung baruku. Prasangka baikku akan masuk pesantren di laur daerah sudah sirna, aku hampir saja keluar daerah, hanya beberapa puluhan meter lagi aku akan melewati perbatasan itu, tapi kali ini hanya sampai di Pesantren Perbatasan. Aku tidak mau kemana-mana lagi, hatiku seakan sudah diikat denga cinta. Dibayar dengan uang sebanyak apapun aku tidak mau, apalagi kalau diajak pulang ke kampung halamanku lagi, aku bosan, tidak mau! Aku bukan lagi merasa diriku berada di luar daerah, tapi malah makin jauh, yaitu merasa berada di luar negeri! Entah negeri apa itu. Yang jelas, bahasa yang kudengar saat kaum adam itu berbicara dengan temannya, mereka bukan berbahsa indonesia, aku tidak tahu bahasa apa? Aku hanya menebak bahwa itu adalah bahasa luar negeri atau sejenis bahasa dedemit dari negeri Neptunus atau semacam alien. Aku hanya menangkap penggalan kata yang susah kulupakan itu, "Naklun Ana aina?" tanya seorang bocah kecil seumuranku kepada temannya, anak kecil yang tingginya tidak jauh beda denganku, tapi postur tubuhnya bedah jauh!, tubuhnya bengkak dan mengembang.

Ibu sudah selesai menasihatiku, beliau sudah menyeka air matanya. Kemudian ibu bangkit dan aku juga bangkit. Kami keluar dari ruangan menuju ke arah becak. Ayah sudah masuk ke dalam becak, becak sudah dinyalakan. Sudah tiga kali kalson itu ditekan oleh Bambkhu menandakan agar kami segera keluar dari ruangan. Ayah turun lagi, kupeluk ayah sambil mengembangkan senyum manisku,

ayah juga tersenyum dan mencium kepalaku, "Rajin belajar ya, Bib!" kata terakhir ayah. Aku mengangguk. Kepeluk ibu, ibu memelukku erat seakan tak mau melepaskanku, "Ibu pasti merindukanmu, Anakku." kata terakhir ibu. Aku hanya tersenyum bahagia. Lalu kusalami Bambekhu-ku, "Jangan nakal lagi Kau, Bib!!" kata Bambkhu. Duh, kata terakhir Bambkhu mengingatkan akan kenakalanku. Ayah dan ibu sudah masuk ke dalam becak. Dan perlahan becak itu pergi dari tempatku, ibu berkali-kali menoleh ke belakang melihatku. Ayah tak pernah menoleh begitu pun Bambkhu. Aku melambaikan tangan kananku ke punggung mereka dan mereka pun berlalu bersama senja.

Teman-teman yang lain memperhatikanku. Aku tetap berdiri di tempat. Sudah lebih lima menit aku tidak bergerak, tapi tetap bernafas berdiri di tempatku tadi. Kupandangi ke tempat terakhir kali aku melihat punggung orang yang kusayangi itu, aku tetap mematung, tak kusadari air mataku meleleh dan aku terisak-isak dan lonceng pun berbunyi. Sepertinya ada orang yang sedang memukul tiang listrik yang terbuat dari besi. Kawan-kawanku berlarian terbirit-birit setelah lonceng itu dipukul, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku pun berlari ke dalam kamarku dan berdiri di sudut kamar berdekatan dengan lemariku yang terbuat dari papan tebal itu, peti. Teman-teman yang lain bergegas membuka lemarinya masing-masing. Ada yang mengeluarkan tempat sabun dan membawa ember lalu keluar dari kamar, ada yang mengeluarkan al-Quran dengan pakaian yang rapi dan peci hitam di kepala lalu mereka semuanya keluar dari dalam kamar sambil lari dan ada yang bergaya santai di depan lemari, lambat betul geraknya, mengalahkan bebek entok! Aku yang masih ketakutan, aku mengira ada bahaya besar yang akan terjadi. Aku menangis sejadinya, merinding. Seorang teman yang lambat bagaikan entok tadi menatapku penuh iba dan ia pun berucap, "Itu lonceng menandakan waktunya mandi. Kau tak perlu takut, Kawan, ada Aku di kamar ini." katanya santai dan kedua tangannya di pinggangnya. Dia adalah orang yang tadi bertanya pada temannya, "Naklun Ana aina?". Kupikir, orangtuanku menemaniku di Pesantren walaupun sehari saja. Hari ini aku sudah tidak melihat mereka lagi. Entah kapan mereka akan mengunjungiku???

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun