Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kata-Kata Tanpa Kata

4 Agustus 2022   17:33 Diperbarui: 4 Agustus 2022   17:56 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Kompas.com)

Apakah sebagian besar manusia adalah inkarnasi dari sebuah kepalsuan antara kata dan tindakan, renungku saat itu. Tak terpahami dan sukar bagiku menemukan sebuah jawaban pasti, yang ada hanyalah tanda tanya yang tentunya cerminan dari sebuah ketidakpastian akan sebuah kepastian yang sedang kukais dalam rasioku. 

Apakah ini sebuah fatamorgana realita yang samar mencari kebenaran pada bait-bait waktu yang enggan untuk menyelubungi diri dengan kebohongan, bahkan tak berdaya di hadapan fakta hingga mendeklarasikan sebuah goresan lepas di atas pentas kehidupan.

Tak pernah kusadari sekumpulan sampah yang berserakan di hadapanku telah membawaku pada sebuah permenungan panjang. Betapa ia tak mampu membohongi keterpurukannya. Ia dihempaskan ke segala pelosok kendati ia memiliki tempat kediamannya yakni "tempat sampah". 

Ia dituding sebagai sumber penyakit yang membawa manusia kepada kebinasaan walau manusia sendirilah yang menciptakan kondisi itu bahkan ia divonis sebagai perusak lingkungan lantaran bertebaran dimana-mana, di jalanan umum, trotoar, di kolong jembatan, di terminal, lingkungan perkantoran, sekolah dan aneka tempat lainnya, seolah-olah ia mempunyai kaki untuk berjalan.

Ia setuju bila dicap sebagai creatio tanpa nilai estetik karena ia tak mempunyai saraf perasa yang tak dapat disejajarkan dengan makhluk lainnya. Namun, apakah manusia mempunyai rasa untuk memperhatikannya? Ia sungguh meragukannya sebab sesama makhluk yang mempunyai nafas kehidupan saja banyak yang diabaikan.

Aku tak kuasa mendengar keluhan sampah-sampah dalam kata-kata tanpa kata yang terucap dari bibir mereka. Sebenarnya mereka ingin menangisi ketakberdayaan mereka tapi apa daya mereka tak mampu berkata-kata. 

Mereka tak punya rasa untuk berbahasa lisan. Mereka hanya bisa berkata tanpa kata-kata. Mereka ingin dijadikan berarti dan berguna untuk kehidupan manusia, bukan untuk dicampakan ke dalam api kemudian dibakar. Kebahagiaan mereka ialah mati untuk kehidupan manusia, seperti biji gandum yang mati untuk menghasilkan kehidupan baru.

Mereka begitu berbangga akan antusiasme para pemulung yang memanfaatkan mereka untuk memperpanjang nadi kehidupan. Keharuan mereka adalah air mata yang tak terbaca. Kebahagiaan mereka adalah sesuap nasi para pemulung. Namun itu semua bukanlah sebuah kesempurnaan kebahagiaan karena mereka membutuhkan sebuah tempat tinggal. 

Mereka tak ingin menjadi perusak keindahan. Mereka tak ingin bertebaran di jalanan umum dan aneka tempat lainnya. Mereka hanya membutuhkan sebuah tempat sampah untuk berdiam.  

Dalam diamnya, ia mencoba bertanya kepadaku "maukah engkau membuat tempat itu bagi kami"? Aku jadi bingung untuk memberi jawaban yang pasti bagi mereka. Aku masih berada dalam sebuah keraguan sebab dunia ini terlalu luas bagiku. Aku membutuhkan para sahabat untuk membantuku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun