Dalam hasanah pribahasa kita, dikenal ungkapan "Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah juga". Sejalan pengertian itu, terkait dengan proses pencalonan Capres dan Cawapres, menjelma menjadi "Sepintar - pintar mahar dicadar, akhirnya juga terbongkar" Ungkapan ini terasa relevan, dengan mulai terkuaknya masalah "mahar" pencalonan yang harus diberikan kepada  partai-partai tertentu yang nilainya Wow ! Satu Triliun.Â
Di sosial media dan media online, di youtube, dengan judul " Sandiaga Akui Suap PKS Dan PAN Total 1 Triliun Rupiah, terkait dengan pernyataan Andi Arief. Sementara itu, Sandiaga Uno mengakui terkait dengan uang yang disebut sebagai "mahar" itu dengan penjelasan bahwa uang itu sebagai dana untuk kampanye pencalonannya.Â
Masalahnya, apakah dana kampanye yang dibutuhkan sudah dikalkuasi sehingga dapat ditetapkan dengan angka 500 milyar bagi PAN dan PKS ? Ataukah masalah dana kampanye sekedar alasannya saja yang sebenarnya adalah "uang pelicin" agar PKS dan PAN mau memberikan dukungan bagi paslon Prabowo - Sandiaga Uno, mengingat paslon ini tidak mungkin maju tanpa dukungan PAN dan PKS ? Ataukah hal itu justru harga hasil "tawar - menawar" mengingat sebelum itu Prabowo menyatakan pusing dengan PKS ?Â
Sebenarnya, istilah "mahar' untuk uang imbalan dukungan pencalonan tentu sangat tidak tepat. Mahar dalam wacana religius Islam adalah bagian dari hal sakral munakahat (pernikahan) sebagai salah satu syarat syahnya (rukun) nikah.Â
Bahkan jenis dan jumlah mahar yang diberikan dideklarisikan dalam akad nikah, sebagai misal "Saya nikahi A binti B dengan mahar seperangkat alat sholat dibayar tunai" . Namun uang pelicin untuk mau mendukung sebuah pencalonan seperti kita mahfumi sangatlah rahasia.Â
Bukan kali ini  saja masalah uang peliscin  itu terjadi. Pada musim pilkada 2018 lalu, bahkan pada musim pilkada perioda sebelumnya, masalah uang suap untuk partai sudah mencuat bahkan sudah sering kali dibawa ke ranah hukum.Â
Namun tetap saja karena begitu rahasia dan licinnya uang pelicin itu tidak jarang laporan masalah uang pelicin menjadi bumerang bagi si pelapor dengan ancaman gugat balik. Bahkan walaupun pihak pelapor  dan partai yang dilaporkan kekeuh akan saling menuntut pun nampaknya masalah uang pelicin pencalonan itu terus terjadi.Â
Ironisnya, jika kita telusuri masalah uang pelicin ini terus berulang dengan pelaku partai itu-itu saja, yang justru memiliki kader yang partisipatif yang siap bekerja dengan tanpa pamrih. Yang penulis nilai, bahwa dana-dana yang konon untuk kampanye maupun untuk uang saksi nampaknya dapat ditekan. Jika demikian, kemana uag yang diklaim sebagai uang saksi dan uang kampanya ?Â
Sekali lagi, jika uang pelicin itu benar untuk uang kamanye dan uang saksi, bagaimanakah menentukan angka-angka itu, padahal berbagai aspek terkait denga "budgeting" kampanye dan saksi belum dikalkulasi ? Barangkali pertanyaan-pertanyan berapa untuk alokasi pos-pos saja secara detail dan pertanyaan-pertanyaan pelacaak lainnya  dapat menjadi penuntun ditemuinya  pintu masuk untuk menemukan jawaban-jawaban yang menggiring pada pelanggaran-pelanggaran aturan dan perundang-undangan yang berlaku termasuk masalah tipikor.