Buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain, perusahaan, atau instansi dengan mendapatkan upah atau gaji sebagai imbalan. Pekerjaan buruh biasanya melibatkan tenaga fisik atau keterampilan tertentu, seperti bekerja di pabrik, proyek bangunan, perkebunan, atau sektor jasa. Buruh sering kali memiliki peran penting dalam menjalankan operasional sehari-hari, misalnya memproduksi barang, membangun infrastruktur, atau membantu kegiatan ekonomi. Mereka bekerja sesuai kontrak atau kesepakatan, baik harian, mingguan, maupun bulanan. Dalam masyarakat, buruh dihargai karena kontribusinya, meski kadang menghadapi tantangan seperti upah rendah atau kondisi kerja yang berat. Buruh berbeda dengan pekerja kantoran yang lebih fokus pada tugas administratif.
Digital merujuk pada segala sesuatu yang menggunakan teknologi berbasis data dalam bentuk angka atau kode, yang diolah oleh perangkat seperti komputer, ponsel, atau sistem elektronik lainnya. Data digital disimpan dalam kode biner, yaitu kombinasi angka 0 dan 1, yang membuat informasi mudah diproses, disimpan, dan dibagikan. Contohnya, foto di ponsel, video di internet, atau dokumen di komputer adalah bentuk digital karena tersimpan sebagai data elektronik, bukan fisik seperti kertas atau pita kaset. Berbeda dengan teknologi analog yang menggunakan sinyal fisik, teknologi digital lebih cepat, efisien, dan fleksibel.
Dalam kehidupan sehari-hari, digital sangat penting. Kita bisa berkomunikasi melalui aplikasi seperti WhatsApp, menonton film di platform streaming, atau berbelanja online, semuanya karena teknologi digital. Dunia digital juga mempermudah pekerjaan, seperti mengirim email, mengelola data, atau mengoperasikan alat pintar seperti jam tangan pintar. Selain itu, digital mendukung perkembangan media sosial, game, hingga kecerdasan buatan. Namun, penggunaan teknologi digital juga perlu bijak karena ada risiko seperti kebocoran data atau kecanduan layar. Secara keseluruhan, digital telah mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berinteraksi, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari dunia modern.
Buruh digital adalah pekerja yang pekerjaan utamanya dimediasi atau menggunakan piranti, jejaring, dan perangkat lunak digital. Istilah ini merujuk pada pekerja yang terlibat dalam ekonomi berbasis informasi, pengetahuan, atau industri kreatif, di mana teknologi digital menjadi inti dari proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Contoh buruh digital meliputi pekerja toko online (misalnya customer service di platform seperti Bukalapak), pengemudi ojek online, pembuat konten digital, dan pekerja lepas (freelancer) yang mengerjakan proyek berbasis digital. Pekerjaan mereka sering ditandai dengan fleksibilitas waktu dan tempat kerja, tetapi juga kerentanan seperti minimnya jaminan sosial, upah tidak tetap, dan risiko eksploitasi karena relasi kerja yang tidak jelas (misalnya, status "mitra" pada pengemudi ojek online).
Ada beberapa karakteristik Buruh Digital, antara lain fleksibilitas kerja, kerentanan, dan minimnya organisasi.
- Fleksibilitas Kerja. Pekerjaan tidak terikat pada ruang dan waktu tertentu, memungkinkan pekerjaan dilakukan dari mana saja melalui perangkat digital.
- Kerentanan. Banyak buruh digital, seperti pengemudi ojek online atau pekerja lepas, menghadapi tantangan seperti upah tidak layak, kurangnya jaminan kesehatan/keselamatan kerja, dan ancaman pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon.
- Minimnya Organisasi. Buruh digital cenderung tidak bergabung dengan serikat buruh karena persepsi bahwa mereka berbeda dari buruh tradisional, ditambah rendahnya edukasi tentang hak-hak perburuhan.
Istilah "buruh digital" sering kali tidak diakui sebagai "buruh" oleh pekerja itu sendiri karena stigma negatif terhadap kata "buruh" di Indonesia, yang dipengaruhi oleh politik pelabelan pada era Orde Baru. Hal ini menyebabkan banyak buruh digital, seperti pengemudi online atau pembuat konten, lebih memilih identitas seperti "mitra" atau "pekerja lepas".
Berdasarkan analisis dari referensi yang relevan dan konteks terkini, berikut adalah tantangan utama yang dihadapi buruh digital di Indonesia:
- Kerentanan Ekonomi dan Ketidakpastian Penghasilan. Buruh digital, seperti pengemudi ojek online atau pekerja lepas, sering menghadapi pendapatan yang tidak stabil karena bergantung pada algoritma platform, jumlah pesanan, atau proyek sementara.
- Tidak ada jaminan upah minimum, bonus yang jelas, atau perlindungan saat permintaan menurun (misalnya, selama pandemi atau musim sepi).
- Minimnya Perlindungan Sosial. Banyak buruh digital tidak mendapatkan jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, atau pensiun karena status "mitra" yang tidak diakui sebagai hubungan kerja formal.
- Platform digital sering kali tidak menyediakan asuransi atau manfaat lain, sehingga pekerja menanggung risiko sendiri.
- Relasi kerja yang "samar" . Status "mitra" menyamarkan hubungan buruh-majikan, membuat pekerja tidak memiliki kuasa dalam negosiasi upah, jam kerja, atau kebijakan platform.
- Algoritma platform (misalnya, penentuan tarif atau penugasan) bersifat non-transparan, sering merugikan pekerja tanpa mekanisme banding yang jelas.
- Kurangnya Organisasi dan Representasi. Buruh digital cenderung tidak bergabung dengan serikat buruh karena persepsi bahwa mereka bukan "buruh" tradisional, ditambah stigma negatif terhadap istilah "buruh" di Indonesia.
- Rendahnya edukasi tentang hak perburuhan dan sifat kerja yang individualistis menghambat pembentukan solidaritas atau serikat buruh digital.
- Eksploitasi melalui Teknologi. Pengawasan ketat melalui aplikasi (misalnya, pelacakan GPS atau penilaian pelanggan) menciptakan tekanan kerja yang tinggi.
- Risiko deaktivasi akun (pemutusan kerja) tanpa pemberitahuan atau alasan yang jelas, seperti pada pengemudi ojek online.
- Persaingan dan Oversupply Tenaga Kerja. Banyaknya pekerja yang bergabung di platform digital menyebabkan persaingan ketat, menekan upah, dan memperpanjang jam kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini diperparah oleh rendahnya keterampilan khusus di antara sebagian buruh digital, membuat mereka sulit beralih ke pekerjaan lain.
Solusi yang Dapat Ditawarkan
Regulasi Pemerintah untuk Perlindungan Buruh Digital:
- Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang mengakui buruh digital sebagai pekerja formal, bukan hanya "mitra," sehingga mereka berhak atas upah minimum, jaminan sosial (BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan), dan perlindungan hukum. Contoh: Revisi UU Ketenagakerjaan untuk mencakup definisi buruh digital dan kewajiban platform menyediakan jaminan sosial.
- Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas Platform. Platform digital harus diwajibkan untuk transparan terkait algoritma penugasan, penentuan tarif, dan mekanisme penilaian pekerja.
- Membentuk badan pengawas independen untuk menangani keluhan pekerja, seperti deaktivasi akun yang tidak adil.
Pembentukan dan Penguatan Serikat Buruh Digital:
- Mendorong pembentukan serikat buruh digital untuk memperjuangkan hak kolektif, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa komunitas pengemudi online (misalnya, Garda atau Serikat Pekerja Angkutan Indonesia).
- Pemerintah dan LSM dapat memberikan edukasi tentang hak perburuhan dan pentingnya solidaritas untuk mengatasi stigma terhadap istilah "buruh."