Gowirio (Manihot esculenta Crantz), yang lebih dikenal secara umum sebagai singkong atau ubi kayu, merupakan salah satu tanaman pangan utama yang berperan signifikan dalam sistem ketahanan pangan masyarakat Pulau Nias, Sumatra Utara. Sebagai umbi-umbian yang kaya akan karbohidrat, gowirio telah lama menjadi makanan pokok yang dikonsumsi secara luas oleh masyarakat Nias, terutama sebelum intensifikasi konsumsi beras terjadi pada era modern.
Secara botani, Manihot esculenta merupakan anggota famili Euphorbiaceae yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap berbagai kondisi tanah dan iklim, menjadikannya cocok dibudidayakan di wilayah tropis seperti Nias. Gowirio tidak hanya dimanfaatkan bagian umbinya sebagai sumber energi, tetapi juga daunnya yang kaya akan vitamin dan mineral dijadikan sayuran harian oleh masyarakat Nias. Keberagaman pemanfaatan ini menjadikan gowirio sebagai tanaman multiguna yang mendukung pola konsumsi lokal yang bergizi dan berkelanjutan. Secara historis, gowirio telah menjadi bagian dari pola pertanian subsisten masyarakat Nias, dengan metode budidaya yang diwariskan secara turun-temurun melalui pengetahuan lokal. Pengolahan gowirio dilakukan dengan berbagai cara, seperti direbus, dikukus, digoreng, atau difermentasi menjadi makanan olahan tradisional. Dalam konteks budaya, keberadaan gowirio tidak hanya mencerminkan kebutuhan pangan, tetapi juga merepresentasikan hubungan erat antara masyarakat Nias dengan lingkungan alam sekitar.
Gowirio (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan lokal yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Pulau Nias. Umbi ini telah lama menjadi makanan pokok dan sumber karbohidrat utama, khususnya di wilayah pedesaan yang tidak sepenuhnya bergantung pada beras. Selain itu, daunnya kerap dijadikan sayur yang kaya akan protein nabati, vitamin A, vitamin C, dan zat besi, sehingga mendukung pola konsumsi bergizi dan seimbang. Keberadaan gowirio juga mendorong diversifikasi pangan, yang penting dalam mengurangi ketergantungan terhadap satu jenis sumber karbohidrat.
Gowirio mudah dibudidayakan di lahan marginal dengan perawatan minimal, menjadikannya tanaman yang strategis dalam menjaga ketahanan dan kemandirian pangan. Dalam sejarah lokal, gowirio sering menjadi makanan penyelamat saat terjadi krisis pangan atau bencana alam. Di Teluk Dalam, Nias Selatan, tanaman ini dikenal sebagai Gowi Farasi, dan umbinya biasa diolah menjadi makanan tradisional seperti Godo-godo dan Lape-lape, sedangkan daunnya dimasak sebagai sayur harian.
Dari sisi sosial dan budaya, gowirio telah menjadi bagian dari identitas masyarakat Nias. Penanaman dan pengolahan tanaman ini diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari pengetahuan lokal dan kegiatan gotong royong. Gowirio juga memiliki potensi ekonomi, karena dapat diolah menjadi berbagai produk bernilai jual seperti keripik, tepung mokaf, dan fermentasi lokal, yang mendukung industri rumah tangga dan membuka peluang kerja.
Dari sisi kesehatan, gowirio mengandung kalium yang berfungsi menurunkan tekanan darah, serta memiliki indeks glikemik rendah, sehingga aman bagi penderita diabetes. Selain itu, rebusan daun gowirio sering digunakan secara tradisional untuk membantu meredakan diare ringan karena kandungan serat dan antioksidannya. Dengan demikian, gowirio tidak hanya sekadar tanaman pangan, tetapi juga simbol ketahanan pangan, kearifan ekologis, dan warisan budaya masyarakat Nias yang perlu terus dilestarikan dan dikembangkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI