Mohon tunggu...
Darmawan bin Daskim
Darmawan bin Daskim Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang petualang mutasi

Pegawai negeri normal

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Harta Haram dari Korupsi/Gratifikasi Bisa Halal?

7 Mei 2021   23:56 Diperbarui: 8 Mei 2021   00:19 1655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penerimaan dan pemberian gratifikasi terkait jabatan masuk kategori tindak pidana korupsi (tipikor), no debat.

Merujuk tulisan sebelumnya “Yuk ah Berhenti Sekarang tidak Terima Gratifikasi” bahwa Allah SWT dan Rosul-Nya melarang kita menerima hadiah terkait jabatan sehingga no debat pula harta tersebut masuk harta haram.

Mengutip buku Seri Fiqih Kehidupan 7 Muamalat karya Ahmad Sarwat, Lc, “Di dalam ayat Al-Quran memang tidak disebutkan secara khsusus istilah sogokan atau risywah. Namun Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menafsirkan ungkapan Al Quran yaitu akkaaluna lissuhti sebagai risywah atau sogokan.

Terjemahan QS. Al Maidah ayat 42:
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram.”

Pun tak ada waktu lagi kita berdebat apakah gratifikasi terkait jabatan ini masuk risywah atau tidak.

Teringat tahun pertama bekerja saat silaturahim Lebaran ke tetangga, Bapak tetangga tersebut berucap,”Wah Wan kerja di situ mah enak bakal banyak jamur waton-nya.” Mencari rujukan arti jamur waton di search engine google diperoleh bahwa itu istilah dalam bahasa Cirebon yang maksudnya adalah pemasukan lain.

Tertangkap nada dari ucapan Bapak tetangga tadi bahwasanya pemasukan lain yang tentunya tak jauh dari gratifikasi terkait jabatan saat itu masih dipahami sebagai sesuatu yang lumrah.

Senada dengan hal itu, ada pula pemahaman bahkan saran dari beberapa orang tua di sekitar agar uang dari jamur waton tadi jangan dimakan atau masuk ke perut (dibelikan makanan/minuman), belikan saja ke benda-benda mati yang bisa kita nikmati. Maksudnya agar tidak menjadi penyakit bagi tubuh kita karena harta itu cenderung haram. Seperti itu mungkin pemahamannya.

Ada lagi pemahaman yang paling ekstrim,”Banyakin aja infak, sedekah, zakat dari uang-uang itu agar bisa suci (bersih) hartanya.”

Mengutip buku Seri Fiqih Kehidupan 4 Zakat karya Ahmad Sarwat, Lc, “Zakat itu bukan mesin pencuci harta haram, zakat bukan money loundring. Zakat tidak berfungsi sebagai pembersihan harta yang haram agar menjadi halal. Sebaliknya, harta yang tidak halal justru hukumnya haram untuk dizakati. Yang benar adalah bahwa zakat itu berfungsi untuk membersihkan diri dan jiwa orang yang melakukannya.

Terjemahan QS. At-Taubah ayat 103:
Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan diri mereka.

Logikanya pun tidak masuk bila harta haram dapat disucikan/dibersihkan dengan infak, sedekah, zakat. Bisa jadi kabar gembira dong bagi para koruptor termasuk penerima gratifikasi terkait jabatan. Perbanyak saja korupsi atau terima gratifikasi terkait jabatan, toh sebagiannya nanti bisa kita infakkan, sedekahkan, atau zakatkan agar harta kita suci/bersih sehingga jadi halal.

Bahkan kaum jahiliyah termasuk Abu Jahal saja saat memperbaiki kabah di masa Muhammad belum menjadi Nabi tidak menerima harta haram dari kaumnya untuk memperbaiki kabah.

Jadi berhentilah korupsi atau menerima gratifikasi terkait jabatan dijadikan pijakan doa yang kita panjatkan, “Ya Allah, tanggungan kami banyak, orang yang perlu kami bantu banyak. Jadi ya Allah, tempatkanlah saya di posisi yang basah terus ya Allah agar dapat membantu mereka.”

“Tapi ada loh orang korupsi dan terima gratifikasi terkait jabatan, posisinya di tempat basah terus dan hartanya makin banyak karena dia rajin infak, sedekah, dan zakat.” Ah itu ada bab pembahasan khusus, lain kali lah kita bahas insya Allah.

Kembali merujuk tulisan sebelumnya “Yuk ah Berhenti Sekarang tidak Terima Gratifikasi” bahwa satu faktor penyebab masih adanya gratifikasi terkait jabatan (faktor paling kuat menurut Penulis) adalah belum adanya kesadaran individu. Dari sinilah mari kita bersama-sama ciptakan kesadaran individu anti korupsi termasuk di dalamnya anti gratifikasi terkait jabatan.

Insya Allah dengan tanpa korupsi termasuk gratifikasi terkait jabatan, harta dan kehidupan kita menjadi barokah, aamiin.

Mohon maaf bila tak berkenan, semoga ada manfaat, aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun