Mohon tunggu...
Darju Prasetya
Darju Prasetya Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis freelance

Pemerhati kehidupan....penyuka dunia tulis menulis....Pengembara di dunia.......Pencari dunia baru untuk kehidupan yang lebih baik......Email: prasetya58098@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wajah-wajah di Sebatang Pohon

15 Desember 2019   07:30 Diperbarui: 15 Desember 2019   10:21 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajah-Wajah di Sebatang Pohonoleh: Darju Prasetya

Bila musim menjelang pilkada begini apa yang paling tak ia sukai? Yaitu jalanan yang penuh dengan gambar-gambar yang semrawut yang merusak pemandangan. Berapa juta rupiah uang yang mereka gunakan untuk memasang tampang-tampang mereka di pohon-pohon, di baliho-baliho, di pinggir-pinggir jalan? Berapa juta uang yang telah mereka keluarkan untuk mempromosikan wajah-wajah mereka? Kalau rakyat berpikir cerdas pasti akan bersikap kritis terhadap tampang-tampang yang di pasang di batang-batang pohon itu.

Semakin banyak mereka memasang gambar seharusnya patut kau curigai darimana uang mereka? Bukankah mereka nanti bila jadi penguasa  justru malah akan mencari uang dengan segala cara seperti korupsi untuk mengembalikan biaya yang telah mereka keluarkan untuk memasang poster-poster yang membosankan itu? Tanyanya dengan penuh selidik. "Sekarang rakyat jangan mudah tertipu lagi dengan poster-poster itu. Rakyat harus tahu siapa calonnya? Bagaimana kredibilitasnya? Apa track recordnya? Apa yang telah mereka perbuat dengan daerah ini?" ujarnya untuk meyakinkan orang-orang yang akan memilih.

Gambar-gambar yang berderet di jalanan itu kadang memuakkan hatinya. Mereka kadang menuliskan bahasa-bahasa yang berlagak sok akrab pada orang-orang yang lewat. Mereka mengaku-ngaku "sedulur dewe" dan lain-lain. "Itu jangan kau pilih orang yang seperti itu!" Kembali ia menasehati pada para pemilih.

Tampang-tampang itu sering manipulatif. Mereka nampak tersenyum lewat poster-poster mereka. "Ya biasalah mereka itu  supaya nampak ramah!" gerutunya.

Senyum-senyum itu sering manipulatif. Jangan terkecoh dengan senyum-senyum palsu seperti itu. Rakyat harus cerdas. Rakyat jangan mudah dikibuli lagi kalau benar-benar kau tahu siapa mereka.

Yang ia heran para pendukung itu ada yang begitu fanatik buta yang sangat membahayakan bagi perkembangan demokrasi. Mereka ini umumnya adalah orang-orang yang kehilangan akal sehat. Orang yang fanatik berlebihan itu biasanya kehilangan rasionalnya dan kecenderungan mereka adalah mudah emosional. Ini berbahaya, ujarnya setelah melihat demokrasi kita yang kadang masih dipenuhi oleh orang-orang yang kehilangan akal sehat.

Kadang hatinya sering gundah bila melihat banyak orang-orang yang mudah terkecoh dengan penampilan dan tampang mereka. Mereka terkecoh dengan segala retorika mereka dan tak melihat siapa orang-orang yang ada di belakang calon pemimpin itu.

"Bisa jadi orang-orang yang nampak tersenyum di poster-poster itu di belakangnya adalah para koruptor kakap yang telah menjarah negeri ini lebih dari tiga puluh tahun.Hati-hati karena bisa jadi mereka untuk menyelamatkan dirinya akibat adanya reformasi dulu kemudian mereka beralih rupa. Mereka berubah seperti bunglon yang kalau ada kesempatan mereka bisa merebut kekuasaan lagi untuk bisa menyelamatkan harta mereka yang pernah mereka korupsi!" nasehatnya pada orang-orang yang akan memilih.

Ia memang orang yang banyak tahu sejarah. Ia tahu bagaimana dulu ia melihat tumbangnya pemerintahan fasis yang telah menjarah uang rakyat puluhan tahun itu dengan segala propaganda mereka karena kekuasaan hanya ada di satu tangan kala itu yang dibacking oleh kekuatan militer, ekonomi dan birokrasi.

Sehingga secara praktis negeri ini mengalami kelumpuhan puluhan tahun karena demokrasi macet. Demokrasi dimanipulasi sehingga apa yang terjadi selama puluhan tahun pemilu yang selalu  jadi presiden  ya hanya penguasa fasis dan otoriter saja. Sebelum pemilu sudah bisa diprediksi siapa yang akan jadi presidennya. Rakyat benar-benar diinjak-injak harga dirinya kala itu karena tidak bisa bebas memilih presidennya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun