Mohon tunggu...
Daris Sakinah
Daris Sakinah Mohon Tunggu... Lainnya - International Relations Student at UIN Sunan Ampel Surabaya

Staff Domestic Affairs HIMAHI UINSA Staff External Relation FPCI Chapter UINSA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

R2P ASEAN yang Berujung Kegagalan

1 Juli 2021   18:05 Diperbarui: 4 Juli 2021   10:51 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Human security atau keamanan manusia merupakan sebuah konsep baru yang lahir dari pergeseran paradigma keamanan tradisional, dan tentunya human security lebih dari sekedar pertahanan militer untuk kepentingan negara dan menjaga keutuhan wilayah suatu negara melainkan mencakup keamanan individu setiap manusia. Keamanan manusia memang didefinisikan dan diartikan secara luas sehingga tidak menghasilkan suatu definisi yang jelas, dalam artian tidak ada satu definisi yang paling tepat untuk menjabarkan apa itu keamanan manusia. Kemiskinan, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, kebebasan individu selalu dikaitkan dengan isu keamanan manusia. Padahal tidak seluruhnya termasuk dari ancaman keamanan manusia. 

Untuk mengatasi luasnya definisi dari keamanan manusia yang jika dibiarkan dikhawatirkan semakin tidak terarah, salah satu upayanya adalah dengan mempersempit definisi dari keamanan manusia itu sendiri. Perihal ini penulis setuju dengan apa yang ditawarkan Bajpai mengenai; keamanan manusia itu dilihat dari kemampuan seseorang untuk mengatasi ancaman tersebut, jika seorang tersebut mampu untuk mengatasinya sendiri maka ancaman atau problem tersebut termasuk dalam permasalah pribadinya bukan permasalahan keamanan manusia. Dari sini kita tentu paham tidak semua ancaman kesehatan, lingkungan, dan kekerasan terhadap individu, itu termasuk dalam ancaman keamanan manusia. Namun, jika seseorang sudah tidak mampu untuk mengatasi ancaman tersebut, barulah ancaman pribadi tersebut bisa dikatakan sebagai ancaman keamanan manusia.

Berbicara mengenai ancaman keamanan manusia, tentu banyak sekali kasus yang terjadi bahkan belum teratasi di akhir dekade ini. Salah satu ancaman keamanan manusia yang cukup menarik perhatian penulis adalah kasus pelanggaran HAM. Sungguh miris bukan, cukup banyak berita yang mempertontonkan pelanggaran HAM di belahan dunia. Mulai dari Palestina, Rohingya, Uyghur, Syiria, dan berbagai konflik yang mengakibatkan pelanggaran HAM berat lainnya.

Kasus pelanggaran HAM berat yang cukup krusial untuk dibahas adalah krisis kemanusiaan di Rohingya, bertahun-tahun pelanggaran HAM terjadi namun tak kunjung mendapati henti. Konflik ini berawal dari kebijakan pemerintah Myanmar yang tidak mengakui identitas etnis Rohingya sebagai penduduk Myanmar. Akibatnya, etnis Rohingya seringkali mendapatkan perlakukan deskriminasi, kekerasan, pengusiran paksa, bahkan tindakan pembersihan etnis dan genosida. Akibat dari itu, etnis Rohingya banyak sekali yang mengungsi dan mencari suaka ke negara-negara tetangga. 

Berdasarkan data yang penulis dapatkan, sejak Agustus 2017, lebih dari 740.000 masyarakat etnis Rohingya telah meninggalkan rumah mereka di Myanmar setelah militer melakukan kekerasan brutal terhadap mereka. Bahkan saat ini, jumlah pengungsi etnis Rohingya di Bangladesh diperkirakan sudah mencapai hampir 1 juta orang. Melihat fakta tersebut, tentu dapat disimpulkan bahwa konflik ini tidak lagi menjadi konflik intrastate, melainkan sudah meranah pada konflik interstate, karena akibat dari konflik Rohingya tanpa disadari juga berdampak pada negara tetangga bahkan berdampak pada stabilitas keamanan kawasan.

Data lain menyebutkan bahwa pada tahun 2017 pasukan keamanan Myanmar melancarkan aksinya membunuh ribuan etnis Rohingya, memperkosa perempuan, menyeret laki-laki dan anak laki-laki ke tempat tahanan, mereka disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi, mereka juga membakar ratusan rumah etnis Rohingya. Bukan kah itu semua hal yang kejam, dan sangat layak dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Apakah masyarakat internasional sepantasnya hanya diam saja, asik menonton berita-berita pelanggaram HAM dengan tenang tanpa tindakan? Tidak, seharusnya negara tetangga dan otoritas yang lebih berkuasa di tingkat regional maupun global harus mampu melaksanakan konsep Responsibility to Protect sebagai bentuk tanggung jawab bersama dalam menangani pelanggaran HAM yang terjadi.

Responsibility to Protect atau biasa disebut juga dengan R2P merupakan sebuah prinsip internasional yang digagas untuk mencegah kejahatan kemanusiaan seperti pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan kemanusiaan lainnya yang terjadi di suatu negara. Jika dengan berbagai sebab dan alasan suatu negara tidak mampu atau tidak memiliki kemauan untuk melindungi rakyatnya, maka menjadi tanggung jawab komunitas internasional untuk melakukan intervensi yang ditujukan untuk mencegah kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia. 

R2P dilakukan karena tindakan intervensi untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM semakin parah, memberi bantuan kemanusiaan kepada masyarakat sipil yang terancam dan menjadi korban, dan juga intervensi yang dilakukan saat kekosongan tatanan sosial. Berdasarkan pengertian yang telah tertera, dapat dipahami bahwa R2P dilakukan untuk menanggapi terjadinya pelanggaran HAM, dan tidak mencakup perlindungan terhadap ancaman kemanusiaan yang berupa pencegahan penyebaran penyakit, isu lingkungan, pemanasan global, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini tentu sudah selayaknya bagi komunitas internasional untuk melakukan R2P dalam menanggapi krisis kemanusiaan Rohingya, terutama organisasi regional ASEAN. ASEAN sebagai organisasi regional tentu seharusnya mampu untuk menangani krisis kemanusiaan yang terjadi dengan melakukan intervensi kemanusiaan; memberikan penanganan; bantuan kemanusiaan; dan memperjuangkan identitas etnis Rohingya yang merupakan akar permaslaahannya dengan mendesak pemerintah Myanmar untuk mengakui identitasnya.

Namun sangat miris sekali, ASEAN masih gagal dalam melakukan R2P terhadap konfik Rohingya. ASEAN hanya melakukan tindakan prosedural seperti KTT, konferensi, dan lain sebagainya. Yang mana hal itu tidak mampu mencegah pelanggaran HAM yang kemungkinan terjadi lagi, namun hanya menangani pelanggaran HAM yang sudah terjadi. Jika dianalogikan, tindakan ASEAN hanya sebatas memadamkan api, meredam konflik yang telah terjadi, bukan menghilangkan konflik agar tidak terjadi lagi. ASEAN belum mampu melakukan tindakan konkrit untuk mendesak pemerintah Myanmar agar tidak lagi melakukan tindakan pelanggaran HAM berat baik berupa tindakan kekerasan maupun pengusiran paksa etnis Rohingya. Padahal untuk menangani itu semua ASEAN sebenarnya sudah sangat berhak untuk memberikan sanksi kepada Myanmar atas apa yang telah dilakukannya, bahkan berhak melakukan intervensi kemanusiaan yang berupa militeristik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun