Mohon tunggu...
Dararima Sani
Dararima Sani Mohon Tunggu... Freshgraduate

Mengulik permasalahan sosial yang terlalu sering kita temui

Selanjutnya

Tutup

Hukum

3 Faktor Kriminalisasi Penyalahgunaan Narkotika

9 Maret 2025   22:00 Diperbarui: 9 Maret 2025   18:46 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Hopkins Bloomberg Public Health Magazine 

1. Perspektif Medis

Respons terhadap penyalahgunaan narkotika telah mengalami perubahan seiring berubahnya zaman. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor utama yang memengaruhi respons terhadap penyalahgunaan narkotika adalah pengetahuan medis. Hal tersebut dapat dilihat pada pergeseran penggunaan opium. Berkembangnya revolusi industri mendorong kekhawatiran ilmu medis mengenai kesehatan publik, terutama yang memengaruhi kondisi kelas pekerja di perkotaan (Bennet dan Holloway, 2005). Kebutuhan atas kelas pekerja dan berkembangnya populasi padat penduduk membuat ilmu medis semakin berkembang untuk menemukan pengobatan dan penyakit baru. Bahaya dari penggunaan opium mulai terdeteksi ketika banyak anak-anak meninggal setelah menggunakan opium sebagai obat batuk. Selain itu, ilmu medis juga menemukan bahwa banyak masyarakat yang menggunakan kokain untuk memuaskan kebiasaan, sehingga menimbulkan adiksi (Spillane 1999). Pengetahuan ilmu medis itu lah yang memulai pembatasan dalam penyalahgunaan narkotika.

Akan tetapi, ilmu medis bukan satu-satunya pihak dari bidang kesehatan yang berpengaruh. Keputusan yang dibuat oleh industri farmasi juga turut memengaruhi respons terhadap penyalahgunaan narkotika. Industri farmasi di Amerika Serikat dapat memengaruhi kebijakan respons terhadap penyalahgunaan narkotika karena mereka rutin memberikan sumbangan kontribusi pada kampanye politik (Dollar, 2019). Hubungan tersebut semakin memperkuat peran pengetahuan yang dilegitimasi milik industri farmasi untuk menentukan obat-obatan apa yang mengancam dan berbahaya bagi masyarakat.  

Pada tahun 1960-an, obat amphetamin yang diproduksi oleh perusahaan farmasi mengalami masa puncaknya. Masyarakat kulit putih kelas menengah ke atas banyak yang mengonsumsinya untuk alasan mengurangi berat badan ataupun untuk alasan psikiatri. Kemudian, berkembanglah methampetamin yang diproduksi di luar laboratorium perusahaan farmasi. Berkembangnya methampetamin menimbulkan kekhawatiran bagi perusahaan farmasi karena methampetamin menjadi pesaing bagi amphetamin. Oleh karena itu, perusahaan farmasi mendorong kongres Amerika Serikat untuk menegakkan kebijakan distribusi farmasi di mana methampetamine dikategorikan sebagai obat tipuan (Dollar, 2019). Dengan begitu, industri farmasi berhasil mengeliminasi kompetisi sebagai satu-satunya penyedia obat yang legal (Bennet dan Holloway, 2005).

2. Sentimen Media Massa

Bidang kesehatan tidak dapat dengan sendirinya memengaruhi kebijakan respons terhadap penyalahgunaan narkotika. Mereka membutuhkan peran dari media massa untuk dapat memengaruhi sentimen masyarakat mengenai kebijakan respons terhadap penyalahgunaan narkotika. Perumusan penggunaan narkotika sebagai ancaman terhadap masyarakat dilakukan oleh media massa melalui penggambaran yang stereotipikal dan berlebihan (Tosh, 2019). Penggambaran yang dilakukan oleh media tersebut didukung dengan pernyataan-pernyataan ahli yang dipercayai oleh masyarakat. Dalam kasus narkotika, penggambaran mengenai bahaya narkotika didukung dengan pendapat dokter, ahli kesehatan, ahli agama, dan politisi. Dengan begitu, muncul kepanikan moral di antara masyarakat yang semakin mendorong pengendalian narkotika melalui kriminalisasi. Hal tersebut dilakukan oleh media karena media memiliki kerja sama dengan pemerintah, di mana terdapat kepentingan mengenai keuntungan, politik elektorat, dan diseminasi informasi (Dollar, 2019).

Berbagai media melakukan dialog politik yang menggambarkan penggunaan kokain crack sebagai sangat adiktif dan dapat mengarahkan pada kejahatan kekerasan (Dollar, 2019). Di Amerika serikat, penggambaran tersebut semakin diperkuat dengan adanya isu ras dan gender. Pengguna kokain crack yang berasal dari kelompok laki-laki African American digambarkan sebagai pembawa senjata api yang mengancam keteraturan sosial. Sedangkan, pengguna perempuan African American digambarkan sebagai tidak bertanggung jawab, hiperseksual, dan berasal dari ekonomi kelas bawah. Stigma tersebut semakin diperkuat dengan visual fotografi pengguna methampetamine yang digambarkan mengalami luka-luka dan gigir yang rusak. Tidak hanya itu, penggunaan narkotika juga dikaitkan dengan kelompok subbudaya tertentu di masyarakat. Penggunaan narkotika dikaitkan dengan kelompok hippie yang memiliki kebudayaan memenuhi kesenangan pribadi dan kebebasan (Tosh, 2019). Asosiasi tersebut memanfaatkan kebencian yang dimiliki oleh generasi tua terhadap anak muda yang menolak sistem nilai meritokrasi.

3. Tekanan berbasis Moralitas

Dukungan masyarakat terhadap respons penyalahgunaan narkotika semakin diperkuat dengan adanya pesan moralitas. Kuatnya pengaruh agama Kristen pada pemerintahan Amerika Serikat menimbulkan internalisasi kendali sosial terhadap tubuh dan jiwa individu (Lopes dan Costa, 2018). Hal tersebut mendorong adanya mentalitas untuk melihat praktik yang mengakibatkan emosi bahagia secara berlebihan sebagai simbolisasi praktik keburukan setan. Dengan begitu, mereka melihat penggunaan narkotika untuk kesenangan pribadi sebagai praktik dosa. Hegemoni agama tersebut juga kuat ditemukan di Indonesia. Agama Islam melarang konsumsi zat adiktif. Hal tersebut dijelaskan pada surat Al-Maidah ayat 90 yang menyebut konsumsi zat adiktif sebagai “perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan.” Konsumsi narkotika pun  dilihat sebagai tindakan amoral yang disandingkan dengan perbuatan setan. Ajaran-ajaran agama tersebut menjadi dasar bagi tokoh religius dalam memberikan pandangan mereka mengenai penggunaan narkotika, walaupun mereka hanya memiliki pengetahuan dasar mengenai isu ini (Lopes dan Costa, 2018).

Penjelasan yang didasari pemahaman agama tersebut semakin menambah kepanikan moral di masyarakat. Dengan begitu, tokoh agama dapat dikategorikan sebagai moral crusaders dalam membentuk respons terhadap penyalahgunaan narkotika. Perhatian masyarakat terhadap isu bahaya narkotika menjadi semakin besar dengan keberadaan moral crusaders yang memimpin kelompok dan gerakan-gerakan anti narkotika. Mereka memanfaatkan kepanikan moral yang ada di masyarakat untuk memastikan berjalannya kebijakan kriminalisasi narkotika. Seiring berjalannya waktu, rezim pengendalian narkotika tidak lagi didominasi oleh bahaya yang didasari medis (Gootenberg, 1999). Permasalahan narkotika telah menjadi isu moral di masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa faktor yang memengaruhi respons kebijakan terhadap penyalahgunaan narkotika adalah politisasi ilmu medis yang menciptakan moralitas baru di masyarakat. Untuk dapat menciptakan respons dekriminalisasi, kita juga perlu mengubah pandangan moralitas masyarakat dengan ilmu medis yang termutakhir.

Daftar Pustaka

Bennett, T., & Holloway, K. (2005). Understanding drugs, alcohol and crime. McGraw-Hill Education.

Dollar, C.B. Criminalization and Drug “Wars” or Medicalization and Health “Epidemics”: How Race, Class, and Neoliberal Politics Influence Drug Laws. Crit Crim 27, 305–327 (2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun