Mohon tunggu...
Dararima Sani
Dararima Sani Mohon Tunggu... Freshgraduate

Mengulik permasalahan sosial yang terlalu sering kita temui

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memahami Cinta dan Intimasi dalam Perspektif Gender

9 Maret 2025   18:00 Diperbarui: 9 Maret 2025   18:29 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melalui Romeo dan Juliet, Shakespeare mendefinisikan cinta sebagai hal yang membuat kita rela mengorbankan segalanya, bahkan nyawa sendiri, demi dapat bersama orang yang kita kasihi. 

Tidak terhitung jumlah karya seni maupun literatur yang membahas mengenai cinta dan intimasi dalam relasi heteroseksual. Mulai dari legenda Orpheus dan Eurydice, literatur klasik Shakespeare, bahkan hingga drama Korea modern pun mengangkat cinta dan intimasi sebagai pusat cerita. Karya-karya tersebut berupaya untuk menangkap makna dari cinta dengan kisah yang romantis dan tidak jarang tragis. Sayangnya, beragam upaya berbeda untuk mendefinisikan cinta tersebut belum berhasil untuk secara jelas merumuskan konsep cinta dan intimasi dalam masyarakat. 

Plato mendefinisikan cinta sebagai eros. Cinta sebagai eros adalah bentuk renjana atau gairah seksual dan pancarian atas kebaikan yang lebih (Pava Vlez, 2022). Pencarian tersebut diharapkan dapat mengarah pada keindahan yang harmonis dan menjadi dasar atas koneksi antarpasangan. Sedangkan, terdapat dua konsep dari intimasi yang digagas oleh para ahli (Marshall, 2008). Pertama, mereka mengartikan intimasi sebagai hasil dari pengungkapan diri. Dengan menunjukkan hal personal, seperti perasaan, pemikiran, dan pengalaman kita pada orang lain, kita dapat membentuk hubungan kedekatan yang intim. Selain itu, intimasi juga dipahami sebagai responsivitas terhadap pasangan. Intimasi tersebut dapat muncul melalui perilaku yang menunjukkan empati, dukungan, dan afeksi pada pasangan. Keberadaan Intimasi dalam hubungan yang didasari oleh cinta menjadi ekspektasi oleh masyarakat. Intimasi itu lah yang dianggap sebagai pembeda antara hubungan romantis dan hubungan lainnya.

Cinta dan Intimasi dalam Masyarakat Patriarkis

Sayangnya pada kehidupan bermasyarakat, konsep mengenai cinta dan intimasi lebih rumit dibandingkan dengan definisi yang telah dirumuskan oleh literatur romantis. Dalam praktiknya, pemahaman mengenai cinta dan intimasi sangat dipengaruhi oleh rumusan masyarakat mengenai gender dan ketimpangan-ketimpangan yang disebabkannya. Pengategorian gender pada masyarakat mengatur kemampuan seseorang mengekspresikan dan menangani emosi mereka (Ducombe dan Marsden, 1993). Pembicaraan mengenai cinta dan intimasi dianggap sebagai hal yang feminim sehingga dibatasi pada perempuan.

Hal tersebut berkaitan dengan peran gender yang diberikan pada perempuan. Perempuan diharapkan akan merawat dan mengasihi keluarganya, sehingga kemampuan untuk mencintai dan membangun intimasi dianggap secara natural terdapat pada perempuan. Cinta pun dianggap dapat memberikan kehidupan yang lebih berarti bagi perempuan (Fraser, 2005:18). Masyarakat mengkonstruksikan bahwa perempuan sebagai objek kepemilikan selalu membutuhkan laki-laki. Dengan menjadi istri dan memiliki cinta, perempuan akan memenuhi perannya yang diberikan oleh masyarakat. Oleh karena itu, perempuan disosialisasikan untuk menginginkan cinta.

Sedangkan, laki-laki disosialisasikan untuk lebih menutup diri secara emosional dan tidak mengekspresikannya (Ducombe dan Marsden, 1993). Ketertutupannya tersebut menghalangi laki-laki untuk membangun intimasi. Pada akhirnya, beban emosional pada pasangan heteroseksual pun dilimpahkan pada perempuan. Partisipasi emosional laki-laki yang lebih rendah membuat perempuan mendapatkan tanggung jawab untuk menyadari dan memenuhi kebutuhan emosional dari pasangan mereka (Ducombe dan Marsden, 1993). Pekerjaan emosional yang bersifat satu arah tersebut mengakibatkan intimasi tidak terbentuk dengan sempurna. Tidak adanya tanggung jawab emosional yang diserahkan pada laki-laki membuat perempuan tidak merasa dicintai dan didukung dalam hubungan heteroseksual (Strazdins dan Broom, 2004).

Selain ketimpangan kerja emosional, pengaruh gender juga dapat dilihat dalam bagaimana masyarakat memperlakukan cinta sebagai bentuk transaksi antara perempuan dan laki-laki. Masyarakat melihat laki-laki sebagai penyedia nafkah terhadap perempuan. Hal tersebut menimbulkan relasi kuasa dalam cinta pasangan heteroseksual. Hubungan tersebut ditunjukkan dengan material yang disediakan oleh laki-laki dan sebagai gantinya perempuan menyediakan hubungan seksual (Ngabaza, Daniels, Franck, dan Maluleke, 2013:130--131). Praktik cinta sebagai transaksi tersebut sulit untuk menimbulkan intimasi dalam hubungan romantis.

Bahkan di struktur hubungan romantis yang paling umum di masyarakat, yaitu pernikahan, cinta dan intimasi tidak selalu ditemukan. Masyarakat seringkali menekankan bahwa perempuan tidak diizinkan untuk mencintai laki-laki yang berasal dari kelas sosial lebih rendah (Ngabaza, Daniels, Franck, dan Maluleke, 2013). Kelas sosial perempuan dipengaruhi oleh laki-laki yang ada dalam hidup mereka karena mereka tidak dapat mengakses cara meningkatkan status sosial, seperti pekerjaan dan pendidikan. Oleh karena itu, pernikahan adalah salah satu cara bagi perempuan untuk meningkatkan status sosial mereka. Apabila mereka mencintai laki-laki yang berasal dari status sosial lebih rendah, mereka memiliki risiko untuk kehilangan status sosial mereka. Akibatnya, pernikahan seringkali lebih menekankan pada upaya untuk bertahan hidup di masyarakat dibandingkan atas dasar cinta dan intimasi. Selain itu, pernikahan juga dapat menjadi bentuk tanggung jawab perempuan di mana mereka tidak memiliki pilihan atas siapa yang mereka nikahi (Mohammad, 2021). Pernikahan paksa maupun perjodohan membentuk hubungan yang tidak didasari oleh cinta dan intimasi, tetapi oleh submisi dan kepatuhan perempuan.

Banyaknya hal yang disalahartikan sebagai cinta dan intimasi oleh masyarakat dapat menyebabkan perempuan mengalami kekerasan dalam hubungan. Janji-janji atas cinta dan romansa seringkali menutupi dominasi, eksploitasi, dan kekerasan yang dialami oleh perempuan (Fraser, 2005). Oleh karena itu, masyarakat harus lebih berhati-hati dalam merumuskan cinta dan intimasi. Perumusannya harus memperhatikan konstruksi masyarakat mengenai gender dan pengaruhnya pada relasi masyarakat. Apabila masyarakat terus meromantisasi dominasi laki-laki terhadap perempuan dan ketimpangan gender sebagai perwujudan cinta, perempuan akan seterusnya dirugikan dalam hubungan yang mana seharusnya dipenuhi timba balik yang setara.

Daftar Pustaka

Duncombe, J., & Marsden, D. (1993). LOVE AND INTIMACY: THE GENDER DIVISION OF EMOTION AND “EMOTION WORK”: A Neglected Aspect of Sociological Discussion of Heterosexual Relationships. Sociology, 27(2), 221–241. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun